"Kelas sejarah tadi benar-benar menguras tenaga." Sera menguap sambil merenggangkan otot-otot tangannya.
"Yup. Dua ratus soal ternyata lumayan." Jay menimpali sembari mematahkan kepala yang dirasa pegal.
Sera melotot. "Lumayan?! Ck, kau gila. Aku hampir mati kesemutan duduk mengerjakan soal selama tiga jam."
Jay hanya membalas dengan tawa. "Kau mau ke kafetaria?"
"Aku mau makan di kamar saja. Kemarin aku membeli pasta di Alice's Tea Shop."
"Hei kawan, kau lupa? Kita masih ada kelas memanah setengah jam lagi. Kau akan telat kalau harus ke kamar dulu untuk makan," ujar Jay mengingatkan.
"Ughh, serius?" tanya Sera lemas. Tubuhnya sudah merosot di lantai bersender pada loker dibelakangnya. "I'd rather die."
Jay terbahak sambil membantu Sera bangkit. "Come on, Rivera. Cukup bermalas-malasannya."
Sera mengiyakan setengah hati. Keduanya berjalan menjauhi kelas sejarah yang mulai kosong.
"Kita lebih baik langsung ke ruang ganti. Mr. Thomas pasti sudah ada di arena sekarang."
Sera mencibir. "Aku tahu kau bilang begitu bukan karena Mr. Thomas sudah ada di sana, tapi karena kau tidak sabar bermain dengan panah."
Jay nyengir senang. "Oops, aku ketahuan. Lagipula memanah itu sangat seru! Bahkan Aiden juga menyukainya. Dia sudah kuajarkan dasar memanah liburan musim panas lalu."
Sera hanya geleng-geleng kepala. Keluarga Jay memang ditakdirkan selalu berada di ruang lingkup olahraga.
"Anyway, J. Aku harus menaruh beberapa buku di loker dulu. Kau mau duluan?"
Jay mengangguk. "Nanti akan kuambilkan perlengkapan memanahmu. Lemarimu nomor 4 kan?"
"Yup. Thanks, J. Aku duluan ya," ujar Sera sambil melambaikan tangan ringan.
Sera berbalik arah menuju timur gedung sekolah. Beberapa anak terlihat berseliweran di koridor. Ada yang mengobrol bersama teman segeng-nya, mengecek jadwal kelas, membaca buku, sampai segerombolan anak musik yang menenteng tas biola. Tepat diujung koridor, terlihat puluhan loker berwarna krem. Sesudah menemukan loker nomor 2, Sera segera mengeluarkan kuncinya. Setelah terdengar bunyi "klik", ia mengambil beberapa buku dari dalam tas lalu menatanya.
"Kenapa lokerku berantakan sekali sih," dumel Sera sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Akhirnya dengan setengah hati, ia mulai menata ulang lokernya. Well, loker di sekolah Sera memang terbilang cukup besar. Mampu memuat sepuluh buku kamus plus peralatan tulis. Bahkan kadang, ia bisa manaruh backpack-nya beserta sepatu boot.
Sera memperhatikan kertas ulangannya dengan serius. Memastikan apakah kertas tersebut masih terpakai atau tidak. Pasalnya, kertas yang menumpuk di loker sudah ia tambun sejak tahun pertamanya di asrama, yang mana berarti banyak sekali.
"Hei."
Sera menoleh terlalu cepat hingga kepalanya terantuk pintu loker yang terbuka.
"Eh, sakit ya?" tanya seseorang sambil meringis. Tangannya refleks mengusap kepala Sera.
Sera melotot. "Apa-apaan, Verona?! Jangan suka mengagetkan orang dong!" ketusnya jengkel.
Gerald hanya cengengesan. "Maaf, maaf. Aku ingin bertanya sesuatu. Apa benda itu milikku?" tanyanya sambil menunjuk kain berwarna merah yang terselip di antara buku-buku milik Sera.
Sera terkejut. "Oh? Ya, ini punyamu. Aku menemukannya di Woolsthorpe waktu itu." cetus Sera datar sembari mengembalikan si ikat kepala pada pemiliknya. Ia baru ingat dirinya belum sempat mengembalikan head band milik cowok ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Books, Coffee, and August
Novela JuvenilBuku; dilatari sebuah tempat bernama Woolsthorpe. Kopi; ditemukannya di sebuah kedai bernama August. August; tempat bertemunya dengan seseorang. Intinya, kehidupan seorang Sera berkaitan dengan tiga hal; buku, kopi, dan August.