AUTUMN [ 3 ]

30 5 0
                                    

Aura meletakkan tasnya di sofa rumah yang terlihat kumuh dan rusak di beberapa bagian. Ia berjalan ke belakang rumah kecilnya untuk bersiap mencuci dan menjemur pakaian. Siapa lagi yang akan melakukan tugas ini kecuali dia? Ayahnya? Bisa bisa Aura tertawa bahak melihat ayahnya mencuci. Sudah berlaku baik saja Aura bersyukur, tapi Aura tak yakin akan hal itu. Ayahnya terlalu tertutupi oleh obsesi kekayaan yang didambanya. Hal mustahil yang tak akan mungkin ayahnya dapatkan dengan cara berjudi seperti itu. Kalau saja bukan ayahnya, Aura sudah melaporkan lelaki itu ke polisi.

••••

Berbeda dengan Luna, Luna jauh lebih memilih menginap di rumah temannya ketimbang pulang ke rumah yang hanya akan membuat tidurnya tak nyenyak. Ia kini berada di rumah Vena, teman baiknya selain Aura.

"Orang tua kamu gak papa kalo kamu nginep disini?" Tanya Vena yang tengah membaringkan diri di tempat tidur queen sizenya.

"Masalahnya sama mereka apa? Justru dengan engga adanya aku, mereka jadi leluasa cekcok. Aku udah muak denger mereka berantem terus."
Luna berjalan kearah sofa merah marun lalu menyetel televisi di hadapannya, tepatnya di dalam kamar mewah Vena.

"Sabar, Lun. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kamu kalo ada apa apa cerita aja ke aku ataupun ke Aura, oke?"

"Oke. Makasih ya, Ven."

••••

Langit sore masih menyembunyikan senjanya. Sang surya masih berdiri gagah menempati posisinya seakan belum mau dikalahkan oleh rembulan yang siap bersinar.

Mafin berjalan menyusuri rak makanan di dalam supermarket itu. Ia mengambil beberapa bungkus roti dan beberapa kotak susu. Lalu ia berjalan kearah rak mi instan. Ia mengambil beberapa dan memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah membayarnya, ia masuk ke dalam mobilnya dan menuju ke suatu tempat. Setelah 30 menit, ia pun sampai di tempat yang ditujunya.
Mafin turun dan membuka pintu pagar berkarat itu dengan hati hati. Ia mengetuk pintu kayu dan menengok ke dalam jendela kusam rumah tua itu.
Pintu itu terbuka dan menampilkan seorang gadis seumurannya yang sepertinya habis menangis.

"Kamu kenapa, Ra? Kok nangis? Ada yang nyakitin kamu? Siapa? Siapa orangnya?" Mafin memegang tangan Aura dengan satu tangannya. Plastik yang ia bawa ia letakkan di kursi kayu depan rumah Aura. Mafin kembali memfokuskan pandangannya ke dalam manik mata indah Aura.

"Ayah.. Ayah pulang. Dia minta uang, tapi aku gak punya. Ayah mukulin aku."
tetes air mata Aura pun terjatuh begitu saja. Mafin yang merasakan kepiluan dari nada Aura pun hanya sanggup memeluk Aura, berharap dengan ini kekuatan gadis tangguh seperti Aura akan kembali.
"Kamu yang sabar ya. Tuhan pasti tau yang terbaik buat kamu," Ucap Mafin.

"Makanya, kalo ada apa apa kamu bilang aja sama aku. Biar aku yang kasih ayah kamu uang, daripada kamu dipukulin kayak gini, iya kan?"

Aura melepaskan pelukannya dari Mafin. Seketika ia teringat dengan Luna. Apa yang ia lakukan? Mengapa ia dan Mafin seperti ini? Bagaimana jika Luna tahu? Luna pasti akan kecewa padanya.

Ia harus belajar menjauh dari Mafin. Ia tak mau hanya karena lelaki persahabatannya akan hancur. Ia harus menyimpan rasanya pada Mafin sebaik mungkin, menguburnya dalam dalam, dan membuangnya hingga takkan kembali lagi.

Mafin memandang Aura heran. Ada apa dengan Aura?

"Ra, kamu kenapa?" Tanya Mafin perhatian. Aura menggeleng dan tersenyum.

"Makasih, Fin. Kamu emang sahabat yang baik," ucap Aura yang membuat Mafin terdiam.
'Cuma sahabat?'

••••

Luna memasuki sebuah pusat perbelanjaan di salah satu kota Jakarta dengan riang. Inilah yang ia lakukan jika stress, shopping. Akibat tak terlalu memperhatikan jalan, Luna pun menabrak salah satu pengunjung mall itu dan menyebabkan tas tangannya jatuh. Luna pun kaget ketika melihat Mafin adalah orang yang ditabraknya.

"Loh, kamu disini, Lun?" Tanya Mafin yang juga sepertinya terkejut.

"I.. Iya, kamu ngapain disini?" Tanya Luna balik.

Luna berusaha sekeras mungkin menetralkan bunyi detak jantungnya. Mendadak aliran darahnya mengalir deras, detaknya berdegup lebih cepat. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan Mafin.

"Lagi cari kado buat temennya kakak aku. Oh iya, mana ya kakak aku?" Mafin terlihat menolehkan kepalanya, mencari seseorang yang tadi sempat bersamanya.

"Kakak udah nemu nih, Fin. Ayo pulang," ucap seorang laki laki tak kalah tampan dari Mafin tiba tiba berdiri disamping Luna.

"Nah ini dia! Kak, kenalin nih temen aku, namanya Luna. Lun ini dia kakak aku."

"Luna."
"Joshua."

••••

"Nah gitu, Lun. Kakak aku sekarang baru mulai kuliah di Jepang. Dia baru berangkat lusa sih ke Jepang-nya," ujar Mafin.

Mafin menceritakan perihal kakaknya kepada Luna. Jo sudah pulang sedari tadi. Kini Mafin dan Luna memutuskan mampir di salah satu kafe di mall itu. Luna sedari tadi mendengarkan omongan Mafin dengan tidak fokus karena terpaku oleh wajah rupawan Mafin.

"Kebetulan juga kakak Aku baru 19 tahun, gak beda jauh lah ya sama kita. Kita kan udah 17 hehe. Tinggal nunggu UN aja nih."

Luna terkekeh ketika Mafin terus saja melontarkan candaan candaanya. Ia berkali kali tersipu ketika Mafin memujinya berkali kali.

'Untuk kali ini, aku harus egois, Ra.'

••••

"Katanya bakalan ada beasiswa loh, Ra. Kamu ikut aja programnya. Kali aja kamu dapet kan."
Mafin dan Aura terlihat duduk berdua di kantin sekolah. Waktu istirahat telah termakan 15 menit, tersisa 10 menit lagi untuk masuk ke kelas.

"Aku gatau deh, Fin. Nanti deh aku coba," ucap Aura.

"Nah gitu dong."
Mafin pun tersenyum dan menggenggam tangan Aura. Kedua matanya menatap intens wanita dihadapannya. Aura pun terdiam gugup ditatap seperti itu oleh Mafin.

"Aku akan selalu ada buat kamu. Gak peduli jika kamu bakal nolak kebaikan aku atau gimana. Biarin hati aku selalu sama kamu, walaupun selalu kamu tolak keberadaannya."
Mafin berucap lirih. Aura menunduk dan menarik tangannya.

"Aku gak akan kayak gini kalau bukan karena keadaan, Fin," balas Aura.

Luna tak jadi memasuki kantin ketika melihat Mafin dan Aura yang tengah berduaan. Ia terbakar cemburu sekaligus perasaan bersalah yang menyeruak memenuhi hatinya.
'Apa gara gara aku kalian jadi gak bahagia?'
Luna memutar badannya berniat meninggalkan kantin dengan hati dan perasaan yang luka.

Tak pernah ada yang mau berada di posisi mereka. Ketika mereka dihadapkan oleh mimpi dan cinta segitiga. Jika satu berkorban, maka perasaan yang lainnya akan terluka walau dalam keadaan bahagia. Nurani dan kesetiaanlah yang mengikat mereka untuk menjadi dekat.

Aura pun berada dalam posisi tersulit. Ketika ia harus memilih dan memilah banyak hal di kehidupannya. Ia dan Mafin sangatlah berbeda tahta dan mahkota. Hanya keajaiban yang akan membuat mereka bersatu. Tapi sayang, ia memutuskan untuk memberikan keajaiban itu kepada Luna.

Mimpi, sahabat, dan cinta sejati.

*TBC
Please Vote and Comment :)

AUTUMNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang