AUTUMN [ 4 ]

29 4 0
                                    

Musim gugur sangatlah indah bila dinikmati. Daun daun berwarna jingga yang jatuh ke tanah seakan menjadi pemandangan yang tak bisa dilewatkan. Jalan jalan setapak di daerah itu penuh dengan taburan daun daun yang jatuh dari tempatnya.

Laki laki dengan ransel yang terlampir di bahu bidang sebelah kanannya itu berkali kali terpaksa menginjak benda jingga itu walau sesekali ia mengabadikan momennya. Ia duduk di salah satu kursi yang ada di bawah pohon yang besar dan meletakkan ransel tadi di sampingnya.

Ia men- slide ponselnya dan melihat beberapa chat yang masuk dari teman maupun keluarganya. Ia pun membalas satu per satu chat itu dan memasukkan ponselnya ke saku jaketnya.

"Indahnya Jepang. Apalagi lagi musim gugur kayak gini," ucap lelaki itu.

Lagi lagi ia mengambil beberapa potret daun yang tengah berjatuhan di hadapannya, lalu tersenyum ketika melihat hasilnya.
Ia bangkit lalu berjalan melewati jembatan kayu yang dihinggapi juga oleh daun daun jingga. Ia pun terus melangakah untuk segera sampai di tempat tujuannya.

••••

"Sebentar lagi UN akan tiba, kalian harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin," ucap salah seorang guru yang kini berdiri memandang wajah murid muridnya.

"Gak berasa dikit lagi UN. Ternyata udah 2 tahun lebih ya kita disini," ucap Luna pada Aura.
Aura menoleh dan berkata, "iya, Lun. Kita juga udah sahabatan 2 tahun lebih. Semoga aja kita bakalan terus kayak gini ya."
Ucapan Aura membuat Luna terdiam.

'Jadi siapa yang harus dikorbankan?'

••••

Mafin berlari memegang tangan Aura yang berjalan menjauhinya. Mafin heran, apa yang salah dengan Aura? Mengapa ia berubah? Bahkan menatap Mafin saja tidak mau.

"Ra.. Ra.. Tunggu! Kamu kenapa?" Mafin menunjukkan wajah khawatirnya. Aura tetap saja tak kunjung menoleh.

"Kenapa kamu ngejauh kayak gini?" tanya Mafin.
Aura masih pada mode diamnya. Tatapan dinginnya ia layangkan pada Mafin. Ia melepaskan genggaman hangat tangan Mafin dengan kasar.

"Cukup, Fin! Liat Luna, jangan aku!" Aura pun berlari meninggalkan Mafin yang kecewa. Lagi lagi Aura memintanya pergi dan menjauh. Mengapa harus Luna? Mengapa ia harus mengenal Luna dan Aura secara bersamaan. Pemikiran ini pun membuat batin dan hatinya bergejolak. Lagi lagi ia dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk dijalaninya, pilihan yang diberikan oleh cinta pertamanya.

••••

"Mama sama papa memutuskan untuk bercerai, kamu mau ikut siapa? Mama atau papa?"

Ucapan mamanya tadi pagi masih terngiang jelas di telinga Luna. Ia tak mau ambil pusing, ia lebih memilih berangkat ke sekolah demi melupakan masalahnya sejenak ketimbang mendengarkan ocehan kedua orang tuanya yang takkan pernah berujung sebelum palu hakim terketuk di meja kayunya.

Sekarang, siapa yang harus ia bagi bercerita? Aura? Ia tak mau membebani Aura dengan masalahnya. Sudah cukup pelik masalah yang Aura miliki. Vena? Gadis itu sudah terlalu banyak menolongnya. Mafin? Ya, Mafin.

Aura berdiri di depan kelas Mafin dengan tatapan agar Mafin mau membantunya. Sekedar menjadi teman curhat saja tidak apa apa, mungkin lain kali bisa lebih dari sekedar itu.
Mafin keluar kelas dan kaget melihat Aura yang kini berdiri di hadapannya dengan puppy eyes yang mampu membuat Mafin terdiam sesaat.

"Kok tumben kesini, Lun?" tanya Mafin yang melangkah menuju pembatas balkon di depan kelasnya.
Luna berdiri di samping Mafin dan tersenyum memandang wajah rupawan Mafin.
"Aku butuh bantuan kamu, Fin," ucap Luna.
"Bantuan apa? Kalo aku bisa pasti aku bantu," balas Mafin.
"Kalo orang tua aku mau cerai gimana ya, Fin?" tanya Luna.
Mafin pun menoleh dan tersenyum kepada Luna.

"Tunjukkin ke mereka, Lun. Kalo perceraian itu bukan solusi terbaik. Kamu kan bisa bikin mereka rujuk lagi. Misalnya ngasih surprise ke mereka dengan dinner romantis, atau hal menyatukan yang lainnya," jawab Mafin dengan panjang lebar.

"Kalo keputusan cerai itu udah bulat gimana? Siapa yang harus aku pilih? Mama atau papa?"

"Ikuti kata hati kamu. Kata hati itu adalah jawaban terbaik." Mafin tersenyum dan mengelus lembut bahu Luna.

"Aku ke perpus dulu, duluan ya."
Mafin melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Luna yang masih mencerna dengan baik apa yang Mafin ucapkan.

Aura menyaksikan semuanya, ya semuanya. Mulai dari Luna yang mendatangi Mafin, hingga Mafin yang meninggalkan Luna. Aura yakin, dengan berjalannya waktu, mereka pasti bisa lebih dekat. Ia kini tahu, perasaannya lah yang harus dikorbankan.

••••

"Ra, aku mau ngomong sesuatu," ucap Luna yang tiba tiba datang.
Aura yang sedang duduk menyendiri di taman sekolah pun menoleh dan tersenyum.

"Ngomong apa, Lun?" tanya Aura.
Luna pun duduk di samping Aura dan memegang tangan Aura yang dingin karena diterpa angin dan cuaca yang juga agak dingin.

"Ra, takdir kita emang beda. Dari awal kamu sama aku juga beda. Kamu pasti akan dapetin universitas manapun yang kamu mau, beda sama aku. Aku mohon, Ra. Kamu satu satunya sumber kekuatan aku. Jangan pernah pergi kemanapun. Karena aku bodoh tanpa bimbingan kamu. Aku hancur tanpa nasihat kamu. Aku gak mau sendirian di dunia yang kejam ini, Ra. Aku gak mau hidup diantara kehancuran keluarga orang tua aku. Aku mohon," ucap Luna panjang lebar.
Tetesan air mata mengiringi kalimat demi kalimat yang diucapkannya. Aura yang melihat sahabatnya menangis pun memilih untuk menenangkan sahabatnya yang sedang depresi berat akibat masalah demi masalah yang datang bertubi tubi.

"Aku gak akan kemana mana, Lun. Kamu tenang aja," ucap Aura.

Mafin sedari tadi menyaksikan keduanya dari balik pohon dekat mereka duduk. Tanpa disadarinya, ia menaruh simpati pada salah satu diantara keduanya. Namun, tak semudah itu pula cintanya pupus seakan dihempas ombak. Tak semudah itu pula ia melepaskan cinta pertamanya. Perjuangan belum berakhir, ia yakin itu. Suatu saat nanti takdir akan membuktikannya, membuktikan jika perasaannya pantas untuk malaikat seperti Aura.

••••

"Bener ya, Ra, kamu gak akan ninggalin aku?" tanya Luna memastikan.
Aura duduk di salah satu anak tangga, Luna mengikutinya.
"Aku gak janji, Lun. Kamu tau kan kalo aku juga berhak punya mimpi. Kita sama sama punya masalah yang rumit, kita janji saling menguatkan. Aku akan berusaha sebaik mungkin," jawab Aura.

"Kalo saling menguatkan, lantas salah satu pondasinya hilang, yang satunya lagi akan timpang. Aku khawatir, Ra," balas Luna.

"Jangan khawatir, Lun. Kalaupun nanti aku pergi atau ngga, pasti ada seseorang yang akan jagain kamu," ucap Aura.

"Gak ada orang lain sebaik kamu, Ra," tangis Luna.
"Ada, Lun. Kamu harus percaya itu," ucap Aura menenangkan hati sahabatnya.

••••

Notif k-talk dari ponselnya membuyarkan lamunan Mafin tentang Aura dan Luna. Ia tersenyum ketika melihat siapa yang mengiriminya chat.

"Kakak lagi di tokyo, baru selesai mata kuliah."

Mafin pun membalas chat dari seseorang yang ternyata kakaknya itu.

"Okedeh, sehat disana ya kak." -Mafin.

Mafin berdiri dari kursinya dan melangkah keluar kelas. Beban masalahnya membuat pikirannya panas dan membutuhkan udara segar. Ia berjalan menuju balkon dan melihat Aura baru saja keluar dari perpustakaan bersama Luna. Melihat mereka, pikiran dan hati Mafin kembali bergejolak. Bukan makin tenang, justru Mafin makin dilanda kebingungan.
Semakin bingung saja hatinya. Pusing pikirannya bergelut dengan pilihan yang diberikan Aura tempo hari. Perang batin antara cinta dan rasa iba menghantui dirinya. Aura ataukah Luna?

*TBC
Please vote and comment :)
© Choirunanda

AUTUMNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang