Pukul 2 dini hari (Flashfiction)

101 7 0
                                    

Apa kau masih yakin ada yang lebih berbahaya dari pikiran pada pukul 2 dini hari?
Ketuk demi ketuknya begitu jujur, murni, dan kacau serta transparan, mungkin karena pada rentang waktu tersebut merupakan kulminasi terbaik bagi otak-otak manusia agar tergolong efektif untuk dirasuki premis-premis yang mewakili ekspektasi, realita, hingga benang merah keduanya. 

Bibirnya dengan sisa polesan lipstik yang tidak beraturan lagi tengah digelitiki sedikit vodka dan untuk sekian kalinya lagi dia berlagak bahagia, padahal air sial itu jelas menggenang dibola matanya. Setelah cukup baginya  memaki diri dalam kepala, setelah ia temui lelah pada tubuhnya, ia akan kembali mengampuni dirinya seperti biasanya, seakan dosa pada dirinya sendiri tak akan dibayar didalam neraka.

"Ayolah, kau terlalu keras pada dirimu sendiri!" tandasnya diikuti renyah tawa halusnya.

Masa lalu adalah dimensi terbaik sebelum ia paham bahwa kebahagiaan adalah sejenis bentuk fiksionalisasi absurdisme, sebab ia kini memahami seperti apa yang dapat ia kutip dari seseorang beberapa waktu lalu: "kebahagiaan adalah ketiadaan dan yang ada hanyalah mencoba untuk tidak sedih". Waktu kecil ia pernah bersumpah untuk menjadi orang yang paling bahagia di planet Bumi (jika dia belum sanggup membeli sebuah hunian di Mars). Bukan berarti dia merasa asing dengan segala bentuk kesedihan dan kawanannya, tapi berteman dengan kesedihan seumur hidup bukanlah tujuan utamanya sejak pertamakali berkenalan dengan kata "cita-cita". Saat kecil, dia bisa menangis berjam-jam dalam pelukan ayah jika seseorang merenggut permen warna-warni dan makanan ringan favorit dari tangannya. Ibu harus selalu siap merayunya ketika ia menangisi teman-temannya yang beranjak setelah lelah bermain bersama. Lihatlah, di usia ini ia memilih bersembunyi dibawah selimut, nyaris tenggelam oleh rengekan keluhan dan air mata sendiri hingga pagi kembali menyadarkannya bahwa kesedihan harus kembali terulang, apapun bentuknya. Waktu kecil ia adalah makhluk yang ingat Tuhan, yang percaya dunia ini dipenuhi dengan manusia-manusia yang diberikan ujian sesuai dengan batas kemampuan masing-masing. Sayangnya, Tuhan kebanyakan lupa dengan berapa banyak luka yang belum juga berhasil dihapus olehnya.

Ini sudah pukul tiga dini hari dan dia masih saja sibuk bercanda dengan pertanyaan, pernyataan, keraguan, dan kesedihan. Sekali lagi ia memilih sibuk menghitung sekian banyak kehilangan walau ia sadar pukul tiga tidak akan pernah mau berhenti demi menunggu berisik gema sahutan dikepalanya untuk beristirahat.

Oh, tidak! Benda berdetak pada dinding itu nyaris merapatkan jarumnya menuju angka empat. Sesaat lagi, pertunjukan pagi dan badai kenyataannya akan segera dimulai sedangkan tubuh itu masih setengah terbaring tanpa daya pada sofa cokelat dihadapan jendela terbuka itu. Dia menjadi sedikit mual karena hembusan angin dari daun jendela lantai lima yang terbuka dalam waktu yang tidak sebentar. Jika matanya masih berusaha membuka diri untuk menelanjangi langit-langit rona kuning muda di kamarnnyam hidungnya masih mencoba bekerja untuk mengenali aroma embun.

"Sial!" ia mulai merespon kerakusan pagi yang tak pernah ia syukuri karena selalu memaksanya untuk bangun, memulai hari, jatuh dan kembali bersedih. Sayangnya, kali ini ia belum juga merasa ingin terbangun.

Ia bangkit, berpindah. Tangan kirinya berlari-lari liar menuju laci meja yang dibuat dari jati putih itu hingga ia menemukan sobekan kertas bercorak dengan warna-warna terang yang dikemas dalam plastik transparan. Didalamnya masih banyak lembaran-lembaran kesenangannya yang sayang sekali jika dibuang begitu saja. Jadi, dia benamkan lembaran-lembaran itu tepat dibawah sisi kiri lidahnya. Sebuah istana sebentar lagi akan berdiri sempurna di depan matanya menggantikan pertunjukan pagi untuknya. Setelah satu, dua, atau mungkin tiga teguk ia kuras sisa isi botol diatas meja, kembali dia berjalan hingga langkahnya bertengger diujung jendela tadi.

Demi mata sembab dan kulitnya yang membiru, ini adalah udara pukul 5.00 pagi. Iya, bodoh! Ini pagi dengan ritualnya yang akan segera menyusul dan ia sungguh membenci semua ini.

"Lompatlah! Kau harus percaya, ini akan terasa sangat menyenangkan.", bisik gravitasi padanya.

Tubuhnya, kau bisa bilang sedang melaju dan terasa begitu ringan seperti baru saja menanggalkan beban entah dimana. Segala hal yang diharapkan membuatnya bahagia, kini berlomba mengisi ruang demi ruang otaknya. Untuk pertama dan terakhir kali dihidupnya, dia mencoba melawan kesedihan sekuat tenaganya. Menyatu bersama laju angin menuju permukaan bumi membuatnya berdaya dan kuat menghabisi kesedihan.Dia melesat, berkejaran bersama embun pagi yang berusaha mencapai permukaan tanah. Sebelum tiba, ia sempatkan berbisik manja pada gravitasi, "Mari membuat istana!" ajaknya dengan mata terpejam sembari tersenyum. Lalu segalanya menjadi hitam pekat. Bukan lagi abu-abu, hitam atau putih. 

Sebentar lagi, ia akan tiba di istananya bersama pikiran pukul dua dini harinya.

Mawar Dini HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang