Eleven : A Clue

15.7K 1.1K 6
                                    

Sabtu pagi ini Nabila sudah disibukkan dengan mengurus keperluan Zidan. Kebetulan, asisten rumah tangganya tidak masuk kerja hari ini.

Sejak beberapa bulan yang lalu, gadis itu memang memutuskan agar asisten rumah tangganya tidak perlu lagi membantunya untuk mengurus Zidan. Selain karena Zidan sudah beranjak besar, juga karena Nabila sudah terbiasa merawat bayi itu sendirian.

Mulai dari memandikannya hingga menyuapi Zidan makanan lembut yang sangat ia sukai baru-baru ini.

Entahlah, semenjak ada Zidan. Naluri keibuan Nabila seakan muncul begitu saja.

Seperti sekarang ini, Zidan dengan tenang duduk di kursi bayinya sementara Nabila sibuk meniupi bubur bayi itu dengan sabar.

Setelah bubur itu sudah mendingin, Nabila menyuapi Zidan dengan pelan-pelan.

Arkan yang melihatnya hanya bisa tertawa kecil. Ia juga bisa merasakan bagaimana perubahan sikap Kakaknya itu selama beberapa bulan terakhir ini.

Juga Iman yang setelah hubungan sepupunya dengan Nabila membaik, cowok itu juga sering menghabiskan waktunya di sini. Selain untuk membantu Nabila dan Arkan merawat Zidan, ia juga membantu Nabila mengerjakan tugas sekolahnya.

Cukup membantu.

Setelah tiga suapan bubur lembut mampir ke mulut Zidan, bel rumah berdenting satu kali.

Arkan langsung tergerak untuk membuka pintu.

Dan beberapa lama kemudian ia muncul bersama Fakhri yang menggendong ransel vans di punggungnya.

"Lah? Lo mau ngapain, Ri?" Tanya Nabila bingung saat melihat cowok itu ada di rumahnya.

Bukannya menjawab, Fakhri malah tertawa "Lo lupa kalo hari ini ada jadwal bimbingan buat gue? Senin besok 'kan udah waktunya UAS." Jelasnya singkat.

Nabila menepuk dahinya dengan telapak tangan kanannya pelan, "Astaga, gue lupa. Tapi, kayaknya lo belajarnya sama Dika--Iman aja deh." Nabila menunjuk Iman dengan dagunya sementara tangannya sibuk menyuapi Zidan.

Oh, soal panggilan Nabila ke Iman yang berubah. Itu karena permintaan Fakhri yang berkata ia dan Arkan harus memanggil Iman dengan panggilan yang sama dengannya yaitu 'Iman'.

Alasannya, agar ia tidak pusing.

Fakhri, oh Fakhri.

"Dih, yang jadi guru pembimbing gue 'kan elo. Bukannya Iman. Males ah gue belajar sama dia. Gaada semangat-semangatnya," protes Fakhri dengan melirik ke arah Iman yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Cowok itu akhirnya melirik ke arah orang yang baru saja membicarakannya, "Dih gue juga ogah ngajarin murid belaga kayak lu. Ditolongin malah nolak. Kocak lo, Ri ri ikan Pari."

Iman kembali sibuk dengan ponselnya setelah sebelumnya meledek Fakhri dengan panggilan konyol buatannya sendiri untuk cowok itu.

Nabila hanya bisa menggeleng melihat kelakuan mereka. "Yaudah, kalo gitu lo pulang aja Ri. Gue sibuk urusin Zidan, nih. Sekalian mau beres-beres kamarnya Zidan."

"Oh, yaudah sekalian aja gue bantuin." Fakhri melepaskan ranselnya dan menaruhnya di sisi kirinya.

Tawaran itu terasa asing di telinga Nabila. Lagipula, sejak kapan ia mau membantu orang lain dengan sukarela dan tanpa maksud apa-apa? Mungkin hanya terjadi dua tahun sekali selama hidupnya. Entahlah.

"Ga usah, lo lebih baik jagain Zidan sama Arkan aja, oke?" Tak perlu repot-repot mendengar jawaban Fakhri, Nabila langsung berjalan cepat menuju kamar Zidan.

Kegiatan bersih-bersih kamar Zidan dimulai dengan membersihkan ranjang bayinya. Kemudian, setelah ranjang bayi itu rapi, Nabila beralih ke stroller bayi itu. Ia baru ingat, ada selimut dan sepasang baju tidur milik Zidan yang masih ada di kantung bagian bawah stroller.

Baby & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang