Fourteen : Breathless

15.3K 1.1K 16
                                    

Satu menit kemudian mereka sudah berkumpul di gazebo yang memang merupakan salah satu tempat favorit mereka di rumah selain perpustakaan dan ruang keluarga.

"Sekarang cepet jelasin. Apa yang terjadi sama kalian bertiga?"

Rasanya cukup aneh melihat Yudha yang biasanya selalu terlihat dengan seringai jahil dan jenaka berubah menjadi serius seperti ini.

Suasana hening seketika sebelum akhirnya Adnan angkat bicara mengenai surat itu hingga kepergian Iman yang mendadak saat malam tahun baru.

Sementara Yudha dan Anna mendengarkan cerita anaknya dengan saksama. Sesekali mereka mengangguk-anggukan kepala mereka.

Adnan mengakhiri ceritanya dengan meminun cokelat panasnya yang tadi ia bawa dari meja makan.

Yudha berdeham, "Jadi, kalian menyalahkan satu sama lain atas kepergiannya Dika waktu kemaren itu?"

Kali ini ketiganya mengangguk.

"Kalian sebenarnya memang salah, merahasiakan sesuatu yang penting dari buat Dika," Anna kemudian menatap anak-anaknya satu-persatu. "Tapi, sikap kalian untuk menolak ngasih tau Dika soal surat itu agar dia enggak salah kaprah sama pacarnya."

Anna melanjutkan,"Seharusnya, kalian menceritakan tentang surat itu ke Dika. Lalu, menjelaskan kalau kalian juga belum tahu pasti apa yang ngirim surat itu memang benar Keisha atau bukan."

Nasihat dari Anna berpengaruh besar untuk ketiga anak-anaknya. Mereka langsung sibuk berunding untuk mencari cara agar mereka bisa menjelaskan hal yang sebenarnya kepada Iman.

"Apa yang dibilang sama Mama kalian itu bener. Seharusnya kalian jangan nyembunyiin rahasia yang sebenernya emang harus diketahui sama Iman walaupun kebenarannya belum jelas," Yudha bangkit dari kursinya seraya memberikan isyarat kepada Anna untuk melakukan hal yang sama.

Arkan yang tadinya sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi Iman menoleh ke kedua orang tuanya yang akan segera meninggalkan gazebo itu. "Mama sama Papa mau kemana?"

"Mau dinner, dong." Ujar Yudha, kelewat ringan.

"Ikuuuuut!" Arkan memang selalu mengacaukan acara romantis kedua orangtuanya.

Yudha berpura-pura akan marah kepada anak bungsunya itu, "Gak boleh! Kamu 'kan udah kelas tiga SMP. Ngapain ikut-ikut?"

Laki-laki berkaca mata itu langsung berbalik dan menggandeng tangan Anna. Sementara yang digandeng hanya tertawa kecil.

"Dika, kamu tuh seneng banget sih gangguin anak-anaknya?" Anna memanggil suaminya seperti saat mereka SMA dulu.

"Biarinlah Ann. Hidup ini ga harus tarik urat mulu, kali. Udah, yuk."

"PAPAAAAA ARKAN MAU IKUUUT"

*

Pukul empat sore, Adnan, Nabila dan Arkan sudah berkumpul di ruang keluarga. Dan tidak lupa kehadiran Iman yang akhirnya bersedia untuk datang dan mendengar penjelasan dari tiga bersaudara itu.

Selama mereka menjelaskan, Iman hanya mengangguk dan berusaha menahan emosinya.

"Jadi, lo udah ga salah paham lagi 'kan sama kita?" Nabila menatap sepupunya dengan puppy eyesnya.

"Iya, tapi gue udah keburu ga percaya sama Keisha." Raut wajah Iman yang tadinya seperti menahan emosi, sekarang berubah menjadi khawatir dan cemas.

Nabila menggigit bibir bawahnya. Tipikal dirinya saat sedang cemas. Gadis itu memang sama cemas dan khawatirnya dengan Iman yang menghawatirkan orang yang disayanginya itu.

Baby & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang