Chapter 1

119 8 0
                                    

Hujan begitu deras. kulihat ke luar namun terhalangi embun yang menghinggap di kaca jendelaku. apa boleh buat. aku harus menunggunya di dalam rumahku yang sempit ini. rumah begitu berantakan. baju yang baru ku angkat dari jemuran tersebar kemana-mana di lantai rumahku. kupandangi baskom di atas meja yang kugunakan untuk menadahi air hujan yang jatuh dari atap rumahku.
aku mendesah berat.
kepala yang sebenarnya tak gatal pun kugaruk dengan cukup kencang hinggga membuat beberapa helai rambutku rontok di tanganku.
ku berjalan ke arah tasku, mengambil dompet bututku, dan melihat isinya.
hhh... cuma ada 1000 yen.
uang segini bisa untuk dipakai apa?
membeli bahan makanan saja susah apalagi untuk membeli jajan di kantin sekolah.
"ah, kau belum tidur?", tanya seorang laki-laki berperawakan besar di belakangku tengah melipat payungnya

."ayah.. jangan melipat payung di dalam rumah! rumah kita nanti bisa basah!", teriakku sedkiti marah dengan tindakannya.

"kau tenang saja. rumah kita takkan mungkin bisa banjir karena payungku yang basah", jawabnya sembari melepas mantelnya dan memberikannnya padaku.
aku menatap mantelnya. banyak yang robek. sedikit miris melihatnya.

"loh? atap kita bocor lagi?", tanyanya sembari melihat ke arah atap.

"iya. nambah satu lagi. kali ini di atas meja makan kita"

ayahku terdiam.
pria berewokan itu menatapku penuh rasa kasihan.
ia lalu tersenyum padaku dan menepuk-nepuk kepalaku.

"sabar, ya. tolong tunggu ayah sampai mendapatkan pekerjaan tetap", katanya.

aku tersenyum simpul.

"tak apa, yah. aku sangat mengerti keadaan kita. ah, aku berencana ingin mencari pekerjaan, yah!"

"tidak. kau tak perlu bekerja. biar aku saja. semenjak ibumu meninggal, kau lupa dengan pesan terakhir ibumu, kan?"

aku terdiam sejenak.

"...mana bisa aku diam saja melihat ayah berusaha mencukupi hidupku dan aku harus duduk manis menantimu disini karena pesan ibu waktu itu. aku tak mau, ayah! coba lihat rumah kita. kondisi keuangan kita! aku tak mau aku menjadi beban ayah seumur hidupku. bahkan hingga aku menjadi kakek-kakek pun, apakah aku juga harus diam saja? kita miskin ayah.. kita ini miskin...!!!"

ayahku terdiam.
ia mendengarkanku dengan baik.

"sudah cukup dengan semua ini. aku tak sanggup lagi jika aku harus berdiam diri saja disini sementara ayah harus bolak-balik mencari nafkah, bekerja serabutan di luar sana, berjuang mencari uang demi sesuap nasi untukku, dan kembali lagi ke rumah dalam keadaan basah kuyup seperti ini... hati anak mana yang tak tega melihatmu, ayah..!!!"

tak ada sedetik.
ayah langsung mendekapku erat.
suaranya yang sesenggukkan terdengar begitu jelas di telingaku.

"maafkan ayah, nak... ayah janji. ayah janji akan segera mendapatkan pekerjaan tetap. tapi saat ini kau tak boleh mencari pekerjaan. kau masih muda, nak. kau masih SMP. tunggulah hingga kau lulus, baru kau akan ku ijinkan untuk bekerja. ya?"

air mata di pelupuk tak tahan untuk segera menerobos keluar. kutumpahkan segala perasaanku di depan ayah.
perasaan sedih dan kasihan yang selama ini aku pendam bertahun-tahun lamanya.
aku mengangguk.
ayah memelukku lagi.

******

terdengar suara burung bernyanyi.
burung parkit berwarna biru peliharaanku.
ia selalu membangunkanku dari tidurku.
kulihat ayah yang masih tidur nyenyak di lantai.
kami miskin. kami tak punya kasur ataupun futon. kami hidup seadanya. pakaian bekas yang tebal bisa dijadikan futon dan bantal sekaligus.
aku tersenyum begitu melihat perut ayah yang terbuka. segera kutupi perutnya yang buncit dengan selimutnya lalu berjalan menuju burung parkit kesayanganku.

Binbo AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang