"Setelah selesai dengan pekerjaanmu, tolong buatkan saya lemon teh." suara perintahnya yang selalu Inas dengar hampir 2 minguan ini. ya itu adalah suara Pak Ardan.
Sejak ucapan selamat dan kalimat terpanjangnya itu, beliau mulai mengajak Inas berkomunikasi secara layaknya orang pada umumnya. gumaman yang tidak jelas dan anggukan serta gelengan sudah tak pernah Inas dapatkan lagi.
Inas sangat bersyukur, sedikit demi sedikit kebekuan laki-laki itu sudah mulai mencair, terbukti hampir setiap hari Inas selalu diajaknya bicara, walaupun hanya sebuah perintah ini dan itu.
"Baik pak, pak Ardan sudah sarapan ? atau Inas buatkan sarapan sekalian ?"
"Gak usah, cukup lemon teh saja. nanti saya sarapan di luar."
"kalau begitu Inas permisi."
Segera Inas bergegas dari hadapan Ardan untuk menyelesaikan pekerjaannya pagi ini. rumah minimalis milik Ardan sebenarnya tidak terlalu luas, untuk membersihkannya mulai dari mengeliminasi debu-debu yang nangkring di sela-sela perabotan hingga yang ngumpet di bawah sofa serta mengepel lantai, Inas hanya memerlukan waktu 45 menit. 1 jam jika Ardan memerintahnya untuk membuat sarapan. tapi hari ini sepertinya laki-laki itu tidak berniat untuk menyicipi masakan Inas.
"Teh lemonnya pak."
"Terima kasih, tolong kamu letakkan di meja makan saja. saya harus menyelesaikan pekerjaan ini dulu."
"Baik, Pak Ardan butuh sesuatu lagi ?"
"Tidak, kalau kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu, kamu boleh pulang."
"Iya pak."
Sebetulnya Inas ingin meminta ijin untuk meminjam buku yang dilihatnya waktu membersihkan debu di rak buku tadi. tapi melihat Ardan yang sangat serius dengan pekerjaannya, nyali Inas menciut untuk sekedar meminta ijin.
'Mungkin aku akan menunggunya sampai pak Ardan selesai' batin Inas.
Dapur menjadi tempat yang Inas pilih untuk menunggu Ardan selesai dengan pekerjaannya. disamping tempat ini adalah spot favorit Inas bila berada dirumah milik bosnya, juga dari sini Inas dapat melihat Ardan yang masih asyik dengan dunianya sendiri.
Menyadari ada yang memprhatikan, Ardan mengalihkan pandangannya dari lembaran kertas yang sedari tadi menjadi pusat konsentrasinya.
Dengan memicingkan matanya, Ardan melihat sosok Inas yang tak berkedip sedikitpun dari memperhatikan dirinya "Inas, kenapa masih disitu ?"
Masih tak sadar bila sekarang Ardan telah bicara padanya, tapi kemudia entah apa yang menyentakn dari pikirannya "Iii....iya pak, maaf." saking kikuknya telah ketahuan sedang memperhatikan bosnya.
"Kamu tidak pulang dan berangkat kerja ?"
"Iya pak, eeh.....Hari ini saya libur pak."
"Terus.." masih dengan memperhatikan Inas yang tertunduk seperti lantai lebih menarik dibandingkan wajah laki-laki keturunan China-Arab itu.
"Emmm..sebetulnya Inas mau minta ijin pak, tapi Inas lihat pak Ardan masih sibuk jadi Inas nunggu pak Ardan selesai dulu."
"Mau minta ijin apa Inas ?" suara tegasnya semakin membuat Inas segan untuk mengatakan yang sedari tadi ingin dia utarakan.
Setelah menimbang-nimbang dan mengesampingkan rasa segannya, Inas kembali berkata "Tadi pas Inas bersih-bersih di bagian rak buku pak Ardan, Inas lihat ada buku tentang peradaban paling hebat di dunia."
Sebelum melanjutkan ucapannya, diangkat pandangannya untuk melihat reaksi bos nya itu. masih dengan dahi yang berkerut khas laki-laki itu bila sedang menunggu lawan bicaranya menyelesaikan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Heart
Short StoryI pray to God, with my heart, soul and body. every single day of my life With every breath I solemnly promise #CerBung