1

2K 110 5
                                    

Rasanya seperti mimpi bisa sedekat ini denganmu, rasanya aku ingin menghentikan waktu ini agar terus bersamamu, menikmati waktuku hanya denganmu, menerima semua perhatianmu yang hanya untukku... hanya denganmu” - Yuki Agni Pertiwi.

***

Malang, April 2004

Aku mulai berjalan menyusuri trotoar menuju sekolah tercintaku, seperti biasa aku akan berjalan dengan santainya, aku masih kelas 4 SD tahun itu. Aku menjadi anak yang mandiri setelah nenekku meninggal, entah kenapa kemandirian dan keberanian itu muncul begitu saja setelah nenekku meninggal. Bahkan aku tidak takut lagi tidur di kamar sendiri semenjak nenekku meninggal. Biasanya aku akan tidur dengan kakak perempuanku, Aiko Setya Pertiwi namanya. Ya, ayahku berasal dari Jepang dan Ibuku dari Malang. Aku 2 bersaudara, hanya ada aku dan kakak tercintaku.

Tepat pukul 07.00 WIB, aku sampai di sekolah. Jaraknya memang tidak begitu jauh dari kediamanku. Aku mulai memasuki halaman sekolah dasarku dengan riang, seperti anak kecil pada umumnya. Berlari, bermain, bebas tanpa beban. Menikmati permainan tradisional yang sangat mengasyikkan.

Bel masuk berbunyi, biasanya semua anak dari kelas 1-6 akan berbaris di depan kelas masing-masing. Mataku tak henti menatapnya, dia menjadi magnet yang berhasil menarik perhatianku dan membuat kacau detak jantungku hanya dengan berpapasan dengannya. Dia adalah kakak kelasku, 2 tahun di atasku.

Maxime Aska Mahendra, dia keturunan Perancis dan Ibunya orang Bali. Sekarang keluarganya tinggal di Malang.

Aku hanya bisa memandangnya dari jauh, tak berani berkenalan atau menyapanya, aku takut untuk memulai. Padahal tahun ini adalah tahun terakhir dia ada di sekolah ini.

***

Malang , Agustus 2013

Aku masih enggan untuk meninggalkan kasurku yang empuk ini. Terkadang aku berpikir, semakin hari waktu berputar semakin cepat hingga tak terasa di tahun ini aku sudah masuk bangku kuliah. Aku melamun untuk sesaat, mengingat banyak hal yang telah aku alami sampai umurku 18 tahun. Masih terasa penyesalan ini, tak ada perkenalan tak ada perpisahan. Jangan kalian pikir aku melupakannya begitu saja!

Ya, Maxime Aska Mahendra masih tersimpan rapat di hatiku, aku tak tau lagi bagaimana keadaanya. Terakhir aku melihatnya ketika perpisahan kelas 6 dulu, ketika dia maju ke atas panggung karena mendapat nilai akhir yang tinggi. Aku hanya melihatnya dari jauh, ingin rasanya datang dan memberi selamat tapi siapa aku?

“Yak...Yuki sampai kapan mau melamun heh?” teriak kakak perempuanku sist Aiko.

“Apaan sih kak, ganggu aja lagi menghayati nih.” Jawabku.

“Yuki my young sister, hari ini kamu itu masuk kuliah lho. Lagian ngelamunin apaan sih, eh atau siapa sih?” tanya kak Aiko.

“Pengen tau aja deh. Ospek juga udah selesai tau Kak, jadi aku bisa lebih santai.” Ucapku lalu beranjak dari kasur empukku.

“Eh... jangan-jangan, berhubungan sama cowok yang ada di surat cinta kamu waktu SD ya, hayo ngaku?” ucap kak Aiko yang berhasil menghentikan langkahku.

Sumpah ya kak Aiko masih ingat aja surat cinta itu. Surat itu memang surat cinta untuk Maxime, sebenarnya. Tapi karena aku gak ada keberanian untuk memberikannya jadi aku simpan begitu saja, ternyata kak Aiko diam-diam sudah membacanya, aish tidak sopan kakak ku ini.

“Kak Aiko tuh ya masih dibahas aja, udah basi tau kak surat cintanya, cowoknya juga udah basi.” Jawabku.

“Cielah nasi kali basi. Cinta pertama emang sulit dilupakan kok adekku sayang. Ngomong-ngomong aku masih simpen lho suratnya.” Ucap kakaku, aku cukup kaget mendengar ucapannya.

Meet With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang