-CHAPTER 6: Sweetest Sin-
“Hey, Ramsell! Dari mana saja kau?”
Aku mengangkat kepala, melihat siapa yang baru saja memanggilku. Salah seorang Ksatria Muda Terracula bertubuh tegap dan memiliki rambut coklat ikal sebahu. Sebelah matanya menyipit terkena sinar matahari. Raut wajahnya terkesan menyenangkan dan selalu tersenyum. Dengan santai ia mengenakan baju zirah lempeng di atas zirah cincin yang sudah ia pasang lebih dulu di badannya. Aku menatap matanya dan tersenyum, namun ingat bahwa ia tak bisa melihat wajahku. Kukedikkan bahu kananku sebagai balasan.
“Aku tidak melihatmu berjaga semalaman, dan berani taruhan aku tahu ke mana kau pergi.” Tubuhku menegang di balik baju zirah. Si ksatria terkekeh, “Demi Tuhan, Ramsell, kau selalu pendiam setelah melakukan itu,” ia mendekat selangkah sehingga jarak kami hanya beberapa jengkal. Badannya condong ke arahku ketika berbisik, “Siapa wanita celaka itu kali ini, huh?”
Kakiku mundur selangkah menjauhinya. Apa yang pria ini bicarakan? Kepalaku menengok ke sebelah kiri dan menemukan seekor kuda jantan coklat sedang mengunyah rumput tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengabaikan ksatria di depanku dan menghampiri kuda. Mengelus-elus lehernya dengan sayang. Rasanya waktu sudah berjalan terlalu lama sampai aku lupa betapa lembut bulu hewan ini walaupun telapak tanganku tertutup sarung tangan logam. “Halo,” aku tersenyum dan berbisik padanya. Ia mendengkur senang dengan gerakan tanganku.
Rumput berkerisik pelan di belakangku dan tiba-tiba saja bahu kiriku terkena serangan rasa sakit luar biasa. Aku meringis dan berusaha sekeras mungkin tidak mengeluarkan suara. Kulihat di atas bahu kiriku, tangan ksatria berambut ikal mencengkeramnya. Aku tahu ia bermaksud bercanda dari suara tawanya yang memuakkan.
“Tenang, Ramsell. Aku tidak akan mengadu pada tunanganmu.” Sarung tangan logamnya mencengkeram bahuku sekali lagi sebelum ia pergi menjauh, dan aku nyaris saja berteriak. “Menurutku…” aku meliriknya dari pojok mata. “lebih baik terus terang saja pada dia. Katakan kau tidak mencintainya atau apalah,” ia berjongkok memasang pelindung kaki. Sarung pedang yang menggantung di pinggangnya memamerkan tulisan mengilap Sir Darren Phillips berwarna perak. Penasaran, aku memeriksa sarung pedangku dan melihat tulisan Sir Brick Ramsell di sana. Tulisan di sarung pedangku terlihat lebih mengilap dibanding milik Sir Phillips. Aku anggota baru, pikirku.
Kami menunggangi kuda masing-masing, melaju cepat menembus hutan pinus di sepanjang tepian Sungai Amnis. Meski dari balik helm, hidungku masih bisa samar-samar menangkap bau pinus dan tanah basah yang menenangkan. Harum ini mengingatkanku pada rumah. Mungkin hanya inilah satu-satunya hal yang tersisa dari kata “rumah” di kehidupan masa depanku. Aku menghirupnya dalam-dalam, tidak ingin sampai kehilangan.
Semua Ksatria di depanku—well, termasuk aku—mengenakan baju zirah mereka dengan lengkap. Di bagian dalam kami memakai Zirah Cincin, zirah terbuat dari kumpulan cincin logam kecil yang disambung dan dijalin menjadi kesatuan. Sementara di luar kami mengenakan Zirah Lempeng terbuat dari logam yang mampu menghalau sabetan senjata. Komandan kami Sir Anthony memberi perintah untuk tetap memakai helm selagi dalam perjalanan. Untung bagiku, dengan begini wajahku akan tetap tersembunyi, dan aku akan aman sampai di Terracula nanti.
Semua perlengkapan baju ini terasa amat berat untuk tubuh kurus seperti tubuhku, namun aku bisa mengatasinya. Setidaknya aku terus berdoa dalam hati Tuhan tidak akan mempertemukan kami dengan bandit liar. Sungguh demi tanah tempat pembaringan terakhir ibu, aku tidak mempunyai keterampilan apapun dalam urusan membela diri dengan pedang.
Kecuali jika kejadian semalam diperhitungkan.
Bibirku melengkung di balik helm perang ketika mengingat apa yang berhasil kulakukan malam sebelumnya. Mendengar teriakan pria itu membuatku lega. Aku merasa menang malam ini. Sekarang aku bisa membuktikan perkataan ibu: James Hayward adalah pria pemberani.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rising Salvator
Ficción históricaTidak ada yang mudah dalam kehidupan James Hayward ketika perang antara negerinya Lowland dengan Highland kerap berkecamuk. Mayat bergelimpangan, merah darah menggantikan warna hijau di ranah Lowland, belum lagi kutukan yang menghantui Negeri Cahaya...