I. Bab 11 Wasiat yang Tertunda

1.4K 202 7
                                    

Awal mula pertemananku dengan Ayanagi Reiichi mungkin bukanlah sesuatu yang pernah kusangka sebelumnya. Setelah ramalan sederhana itu, aku pun pamit karena harus segera kembali ke kediaman Asada. Sebelumnya ia menawarkanku untuk bertukar nomor telepon, yang tentu saja kuterima. Tidak ada yang lebih menguntungkan dari menambah koneksi. Tapi siapa yang sangka kalau hanya selang beberapa hari aku akan berhadapan dengan pertemuan tak terduga lagi.

Lama kelamaan aku jadi merasa kalau sebenarnya Teito-san suka sekali mempergunakanku. Harusnya hal sepenting seperti 'ibu Yuki akan datang dari Inggris besok pagi, tolong kau jemput dia di bandara dan bawa ke rumah' diberitahu dari jauh-jauh hari. Bukan saja aku harus menyusun ulang rencanaku hari itu, tapi siapa yang hatinya siap untuk tiba-tiba bertemu dengan Ibu dari seseorang yang kau selidiki selama beberapa hari? Tentu saja Teito-san meminta maaf dan memberikan kompensasi yang besar langsung ke rekeningku, jadi sepertinya kunjungan ini juga bukan seratus persen kesengajaannya.

Ketika pertama kali bertemu dengan Ibu Yuki di depan gerbang kedatangan, semua imajinasiku tentang perempuan kaukasia superior yang tak terjangkau pun pupus. Ia hanya seorang wanita biasa dengan pakaian santai yang tidak mewah. Ia memiliki wajah yang menyenangkan dan juga suara yang tidak mengintimidasi (seperti ketakutanku, maklum, aku tidak pernah berhubungan dengan wanita asing sebelumnya). Sepertinya karena ia sendiri adalah seorang wanita bisnis yang sukses, aku jadi punya pemahaman bahwa ia suka membawahi orang lain. Ia juga lancar bahasa Jepang dan dengan ramah mengajakku bicara, sekaligus menyuarakan kekecewaannya karena tak dapat bertemu dengan Teito-san.

Jika ditanya bagian mana yang mirip dengan Yuki, tentu saja rambut, kulit dan juga bola matanya. Meski wajahnya memiliki banyak kesamaan dengan putranya, tapi aku memiliki impresi kalau wajah tampan Yuki merupakan warisan dari ayahnya. Tidak bermaksud kasar, tapi Ibu Yuki tidak secantik itu, setidaknya bukan pada level istri seorang aktor papan atas.

"Apa kau sudah lama bekerja untuk keluarga Asada?" tanyanya dalam taksi menuju rumah.

"Tidak lama, baru beberapa minggu saja."

"Hm, kau tidak ada pikiran untuk berhenti?" Aku menyangkal. "Hoo.. Tapi membosankan bukan melakukan pekerjaan seperti itu? Apalagi kau harus tambah repot dengan pekerjaan tambahan seperti menjemputku begini."

"Tadinya kupikir begitu, tapi setelah dijalani sepertinya malah aku yang tak mau lepas. Itu kalau anda percaya dengan kata-kataku."

"..Aku percaya, kok. Kau tidak terlihat seperti orang-orang lain yang bekerja di rumah itu." Mungkin maksudnya adalah Bibi Ariyoshi dan suster Inohara. Dalam kunjungan sebelumnya pasti ia juga sudah pernah bertemu dengan mereka dan mendapat kesan yang sama buruknya denganku. Rupanya sikap mengintimidasi yang tak ditujukan kepadaku disimpannya untuk kedua orang itu.

Tak banyak yang harus kulakukan untuknya selain mengantarnya ke kamar Yuki dan membiarkannya berada di sana semalaman. Ia tidak butuh wisata atau perbuatan santai lainnya, ia khusus datang dari jauh hanya untuk menemui putranya. Ia hanya akan berada di sini selama tiga hari, dan selama itu juga aku dibebaskan dari tugasku. Meskipun aku jadi bisa sedikit konsentrasi pada masalah kuliahku, tapi rasa kangenku pada jam-jam pribadiku bersama Yuki tak dapat kupungkiri. Karena itu, pada malam terakhir sebelum Ibu Yuki kembali, aku pun memutuskan untuk mengunjunginya sebentar.

"Kau tidak perlu mengendap-endap seperti itu." Ibu Yuki menyergapku yang mengendap masuk ke kamar. "Tidak ada yang pernah melarangmu masuk selama aku berada di sini."

"Ah ya.. Tapi aku merasa kau butuh waktu berdua dengan Yuki, jadi.."

"Masuk saja. Aku tak benci dengan ide bicara bertiga denganmu di sini. Kapan lagi aku bisa mengobrol bareng dengan putraku dan sahabatnya." Sang Ibu menyuruhku duduk di kursi putihku yang biasa sementara ia duduk di sofa kecil yang ada di arah berlawanan. "Meski Teito pernah sangat dekat dengan Yuki, kau tahu.. Perasaan bersalahnya menghalanginya untuk dekat kembali. Sama seperti semua orang yang ada di sekitar Yuki. Atau mungkin kecuali kau."

"Aku bukan siapa-siapa.. Evelyn-san. Aku hanya bekerja di sini."

"Tapi kau menyukai pekerjaan ini, kan? Aku mengerti kenapa Teito memutuskan untuk memekerjakanmu, kau bisa melakukan apa yang tidak bisa keluarganya lakukan. Kami semua, aku, Satoru, Teito dan orang-orang lain yang pernah ada dalam hidup Yuki, merasa bertanggung jawab atas semua yang menimpa Yuki. Menyesal kenapa kami tidak lebih memikirkan ia ketika dulu. Dan perasaan itu membuat kami takut untuk menyentuhnya sekali lagi, takut untuk menorehkan luka yang lebih dalam."

"Tapi ini bukan salah anda.. Anda bahkan tidak ada di sini ketika semua itu terjadi."

"Justru karena itu. Bagaimana jika kalau aku ada? Apa semua itu tidak akan terjadi?" Wajah Evelyn-san memucat, ia menatapku dengan tatapan penuh dengan kata 'lelah'. "Aku punya dua orang putri di Inggris, tapi hubunganku dengan mereka sangatlah buruk, kami bertengkar setiap hari. Sementara Yuki, hanya beberapa bulan sekali kami bertemu, tapi ia tidak pernah sekalipun menyalahkanku atau marah atas keputusan lampauku. Tapi ia juga tak menyimpan semua perasaan negatifnya begitu saja, jika ia kecewa ia akan bicara, jika ia ingin bermanja-manja ia akan meminta. Tapi aku tak pernah merasa aku memberikan kasih yang cukup kepadanya. Aku merasa tujuannya menunjukan perilaku yang seimbang itu adalah agar tak membuatku khawatir."

Suara Evelyn-san pun mulai bergetar, tapi ia tidak menyerahkan dirinya pada emosi. "Ia anak yang baik. Ia tak pantas mengalami semua ini. Tapi lihatlah, aku bahkan tak bisa meyakinkan diriku bahwa aku bisa menolongnya, meski ia sudah pernah menjerit kepadaku." Serta merta telunjuk kanan Evelyn-san mengarah kepada sebuah buku tebal berwarna kuning tua tak kukenal yang ada di meja sebelah Yuki. "Ia mengirimkan buku itu kepadaku tiga hari sebelum ia melompat. Sejak kami berpisah aku dan Yuki selalu menulis kegiatan kami di dalam jurnal dan menukarkannya saat kami berdua bertemu. Tapi selama beberapa tahun terakhir sebelum kecelakaan itu, meskipun kami bertemu, ia tidak memberikanku apa pun. Ia mungkin masih menulisnya, tapi ia tak menyerahkannya kepadaku. Dan ketika ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya, ia mengirimkannya kepadaku sebagai Wasiat terakhir. Dan aku tak pernah membukanya hingga detik ini."

Aku menatap jurnal kusam itu dengan seksama. Di dalam sini.. Di dalam sini tertulis semua kisah Yuki yang tidak kuketahui. Aku ingin membacanya.. Aku ingin mengetahuinya!

"Evelyn-san.."

"Kenapa? Kau tak perlu sungkan untuk membacanya. Karena jurnal itu dan jurnal-jurnal sebelumnya yang juga kubawa sekarang memang sengaja kubawakan untukmu. Dari dulu aku ingin sekali menyerahkannya kepada Teito, tapi aku sadar bahwa ia sama sepertiku, meski kami membaca dan mengetahui isinya, pada akhirnya kami tetap tidak akan bisa berbuat apa-apa. Rasa bersalah ini tidak akan menghilang, malah akan semakin memperparah penyesalan kami. Kau bisa bilang ini egois tapi.. Terkadang ada hal yang lebih baik kita tidak tahu."

"..Jadi anda memberikannya kepadaku?"

"Tentu saja."

Setelah aku mengantarkan Ibu Yuki ke bandara dan memberikan perpisahan kasual keesokan harinya, aku pun segera berlari kembali ke kediaman Asada dan memendam di dalam kamar tidur tamu bersama dengan jurnal-jurnal Yuki. Malam ini tidak akan ada yang dapat menggangguku.

==

Halo! Terima kasih sudah membaca sampai akhir babak satu! Mulai bab selanjutnya akan masuk babak dua yang fokus kepada cerita masa lalu Yuki, POV-nya juga jadi punya Yuki and it will be much longer than this one. Semoga cerita ini masih menarik ya untuk diikuti. Kritik dan sarannya selalu ditunggu.

-kalengjelek-

Tak Ada Batas Pada Mozaik [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang