I. Bab 8 Secarik Memori

1.5K 193 3
                                    

Dalam kotak bidik kameraku, pohon-pohon Sakura ini tidak terlihat seindah yang sebenarnya. Warna merah muda bercampur putih yang menyelimuti tangkai-tangkai berkelok itu, selihai apa pun aku menangkapnya, dari sudut mana pun aku mengambilnya, pada akhirnya tidak ada yang dapat merepresentasikan kecantikannya lebih daripada kedua bola mata ini. Alasan mengapa aku lebih memilih untuk memotret manusia adalah karena aku tak pernah merasa cukup percaya diri untuk mencetak ulang mahadaya alam. Meski orang-orang di sekitarku memuji kemampuanku dalam menghasilkan foto pemandangan, hal itu tak pernah membuatku benar-benar senang. Karena bagiku, memotret alam adalah sesuatu yang membutuhkan tanggung jawab penuh, karena mata yang kau pasang tidak boleh menyalahi sudut pandang objektif. Gambar yang kau hasilkan adalah mata dari semua orang, bukan arti keindahan yang kau pahami sendiri.

Memotret manusia adalah hal yang sangat berbeda. Kecantikan dan seni yang ingin kita tangkap dari insan-insan itu adalah aestetik milik kita sendiri, yang kita ciptakan bukan untuk menyetujui cara pandang orang lain belaka. Manusia dan alam adalah sama-sama bukan ciptaanku, tapi alam tak memiliki emosi dan motivasi untuk membentuk dirinya sendiri, ia selalu mengikuti tempaan dari sisi lain, terbaring pasrah tanpa ada perlawanan yang berarti. Pemberontakan, revolusi dan gejolak jiwa yang tak pernah padam, seakan-akan tak peduli betapa pun keras mereka berusaha, pada akhirnya yang menentukan bukanlah mereka. Bentuk-bentuk sukma yang menggugah itu, aku tak akan dapat menemukannya dari alam-alam tak bergeming ini.

Mengkhianati niatku tadi pagi untuk memotret pemandangan di taman ini, aku pun merapikan kembali kameraku dan kembali ke kediaman keluarga Asada. Untuk mendapatkan gelar sarjana, aku harus mengumpulkan karya berupa kumpulan foto bertema sebagai tanda kelulusanku. Temanya bebas, tidak mengekang sama sekali. Tapi justru karena itu aku tak dapat menentukan pilihanku. Mereka semua bilang kalau foto pemandanganku lebih memiliki nilai dari foto-foto mahluk hidupku, mungkin hanya aku di dunia ini yang tak setuju pada hal itu. Tapi ini adalah syaratku untuk lulus, dan aku tak bisa bertaruh di sini. Situasi dan egoku tak mengizinkan untuk bersantai-santai lebih lama sebagai seorang mahasiswa.

Setelah memberi salam pada Bibi Ariyoshi yang akhir-akhir ini sudah lebih lunak terhadapku, aku pun menaiki tangga menuju kamar hangat itu. "Aku pulang, Yuki. Kau sudah bangun rupanya. Yah, hari sudah siang juga.. Dan cuacanya juga sedang baik. Makanya tadi aku berpikir untuk mencari inspirasi di taman dekat sini, tapi sepertinya sia-sia saja. Pada akhirnya aku tak dapat melakukan apa yang bukan kemauanku." Aku berdiri di sisi kanan pemuda itu, menatap wajahnya yang sedikit jatuh ke arah kanan. Ini tidak masuk akal, tapi.. Meski wajah yang ditujukannya tak pernah berbeda, entah kenapa aku merasa setiap hari Yuki memiliki ekspresi yang berbeda. Hari ini ujung bibir kirinya sedikit melengkung ke bawah, dan pupilnya sedikit lebih kecil dari biasanya. Entah perasaan apa yang dimilikinya hari ini, suatu saat aku ingin menanyakannya.

Ketika hendak menaruh tas kamera yang menggantung di pundakku, mendadak ide untuk mengabadikan ekspresi Yuki hari ini pun muncul. Aku pun mengeluarkan kamera profesional hitam itu dari tasku, mengubah setelannya dan mengarahkannya pada insan yang terlelap di samping. "Ini sebenarnya tidak boleh kulakukan tanpa izin, tapi rasanya sayang menyia-nyiakan 'Yuki' yang hari ini."

Gambar yang kudapat tidaklah memiliki unsur yang mengejutkan, tapi aku merasa ini adalah seorang Yuki yang paling utuh yang dapat kuabadikan hari ini. Secara kasar, ini hanyalah foto seorang penderita koma yang tertidur di atas ranjang. Tidak ada unsur simpatik yang meluap-luap atau juga unsur seni yang mendebarkan. Tapi aku menyukainya. Kenapa juga aku tak melakukan hal ini sedari kemarin? Yuki-Yuki yang sebelumnya pasti sama menariknya dengan hari ini.

Mataku melirik ke arah lemari kayu tua yang ada di seberang ranjang. Aku pernah mengintip sedikit isi dalamnya, dan ada beberapa tumpuk buku yang menyerupai album foto. Tentu aku pernah melihat Yuki yang masih sehat dalam foto keluarga yang ada di ruang tengah. Senyum tulus yang disunggingkannya bersama dengan sang ayah, aku tak bisa memungkiri aku mengagguminya. Tapi Asada Satoru dan Minagawa Teito pastinya bukanlah satu-satunya manusia yang berada di hidup Yuki. Pasti masih banyak insan-insan lain yang membentuknya hingga sekarang ini. Contohnya, Suzuki Enji yang kemarin datang. (Jika diingat lagi, aku sebenarnya sedikit tidak percaya kenapa aku bisa selancang itu mengundang orang ini masuk. Tapi ini bukan berita lama, kebiasaanku dalam mempraktekan hasil pikiranku tanpa menjabarkan prosesnya terlebih dahulu memang sulit untuk dibendung. Kasus serupa juga pernah terjadi ketika aku merawat Karina.)

Aku pun meraih album foto berwarna biru kusam dalam lemari itu dan menyelidiki isinya. Yuki waktu kecil tak tampak jauh berbeda dengan anak pada umumnya. Ia manis dan sepertinya pemalu, meski surai emasnya membuatnya semakin mencolok. Jika disandingkan dengan ayahnya, jelas mereka lebih terlihat seperti om dan keponakan, tapi dalam salah satu foto ketika Yuki berulangtahun yang ke-7 dan digendong oleh sang Asada-san, aku bisa merasakan percikan kasih sayang yang nyata antara mereka berdua. Walau jumlah kemunculan Ibu Yuki berkurang drastis menjelang akhir album, tapi ia tidak dikucilkan dari sebuah memoar keluarga bernama Asada. Mungkin mereka bercerai secara baik-baik.

Jika tidak ada yang memberitahuku, aku tak akan dapat menebak kalau Yuki adalah putra Asada Satoru. Ia membaur dengan lingkungannya, tapi juga menyiratkan aura yang berbeda dari orang-orang yang mengelilinginya. Foto liburan santai dengan kawan-kawannya, memori turnamen hockey pertama yang diikutinya, dan potret-potret kelulusan dari setiap jenjang pendidikan; Kecuali, kelulusan sekolah menengah atas yang tak kutemukan dimana pun. Senyumannya tak berubah hingga akhir halaman album tersebut, tapi aku tak menemukan satu pun jembatan penghubung antara keadaannya yang sekarang dengan masa-masa bahagia itu.

Pada halaman terakhir album tersebut secarik foto yang tak disisipkan jatuh ke antara kakiku. Setelah memungutnya, aku memerhatikan isi foto itu dengan seksama, tapi aku tak dapat langsung menyimpulkan artinya. Yuki dewasa, berseragam jas necis dan buket bunga di pangkuan lengannya, serta lelaki berkacamata setengah baya yang merangkul Yuki akrab di sebelahnya. Senyum Yuki tidak sama di sana, ia tidak hanya menyunggingkan bibirnya, tapi juga tersenyum dengan seluruh organ wajahnya.

Ini bukan foto kelulusan biasa, dan pria di sebelahnya juga bukan orang yang familiar. Tapi yang paling penting adalah, Yuki yang ada di sana bukanlah Yuki yang pernah kubayangkan sebelumnya. Seakan berhasil menemukan puzzle terakhir dari hidupnya, ia mencurahkan ekspresi kemenangan. Entah kemenangan atas apa.

Tak Ada Batas Pada Mozaik [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang