Memoar Seorang Perantau ...
Hampir tiga tahun Fatir tidak pulang kampung. Dulu, ketika masih akrab dengan pemandangan desa yang hijau, ia selalu bermimpi tinggal di kota. Sejumlah alasan ia lontarkan kepada orangtuanya agar diizinkan berangkat ke kota. Dia membayangkan, seandainya dia tinggal di kota akan lebih mudah mengeksplor potensi-potensi terpendamnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan di kampung sunyi itu selain membantu bapaknya mencangkul, menyabit, ngalolodok, mencukur bulu domba-domba peliharaan, dan ngangon sapi.
"Kalau diam terus di sini, saya tidak akan berkembang, Abah!" protesnya di hadapan ayahnya.
Hati sang ayah bergetar. Muncul rasa kasihan pada anaknya. Dalam hatinya, Pak Asep membenarkan protes anaknya.
"Terus, maumu apa atuh Cep, apa yang hendak kau lakukan di kota? "
Air muka pemuda usia dua puluhan itu tiba-tiba berbinar. Dia merasa yakin bahwa ayahnya akan memenuhi keinginannya.
"Ya, saya mah dari dulu juga ingin kuliah. Saya ingin jadi pembangun negeri dan bangsa ini, Abah!"
"Kalau Abah mah setuju saja, bahkan Abah ingin kamu lebih baik dari Abah. Abah ini hanya kepala desa, semoga nanti kamu jadi gubernur, walikota, atau jadi presiden sekalian."
"Hanya apakah Ambu setuju dengan keinginanmu. Kamu tahu sendiri, Ambu-mu tak mau jauh-jauh denganmu. Ambu-mu pernah ngomong katanya tidak mau punya anak yang tinggal di kota karena nantinya jadi anak yang nggak bener. Cukup banyak contoh tetangga-tetangga kita. Pulang dari kota, kelakuannya jadi araraneh. "
"Tenang saja, Abah, nanti saya akan bujuk Ambu."
Tanpa menunggu waktu, dia langsung mendekati ibunya yang sedang memetik daun singkong di sebelah rumah. Dia merayu ibunya dengan membantu memetik daun singkong.
"Ambu, apa tidak sekalian petik Waluh Siam yang sudah matang ini?" ujar Fatir menunjuk sebuah Waluh yang berukuran besar tepat di hadapannya.
Aneh, anak ini sekarang mulai berubah jadi baik, pikir sang ibu. Tanpa menghentikan aktivitasnya, ibu itu menyetujui dengan anggukan.
Dengan upaya yang cukup keras untuk meyakinkan ibunya, akhirnya Fatir dizinkan. Pemuda itu memilih kota Jakarta untuk mewujudkan impiannya.
***
Ibu Kota Yang Gersang ...
Siapakah yang seharusnya disalahkan?
Salahkah alam yang enggan bersahabat erat lagi dengan makhluk yang bernama manusia?
Orang-orang yang berpandangan fatalistik selalu menyalahkan Tuhan. Tuhan selalu dijadikan kambing hitam. Kebaikan ada karena Dia yang menentukan. Kejelekan dan kehancuran juga adalah tapak Tuhan. Mereka yang menganut paham ini mengira bahwa manusia hanyalah wayang yang digerakkan sang dalang, yakni Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Semua | Antologi 15 Cerita Cinta Ragam Warna
SpiritualCinta untuk Semua | Antologi 15 Cerita Cinta Ragam Warna By Jahar Semua cerita diprivate, kecuali Mekah Bertabur Cahaya dan Pakuda. Kedua Cerita ini juga bisa dibaca Free di Google Play Books. Cinta universal tertuang dalam ragam plot dan cerita...