Temukan ceritanya di GooglePlay
🍁🍁🍁
Metromini 75 hanya berpenghuni dua orang, Tiwi dan Bang Malik. Keduanya tidak lain adalah sang sopir dan kondektur. Malam semakin larut. Minibus siap-siap disitirahatkan. Saat minibus melintasi kawasan Jalan Raya Ragunan, Tiwi menolak beberapa penumpang yang mau naik dengan isyarat tangannya.
Rasa bahagia memenuhi relung hati Tiwi. Tentu betapa senangnya setelah seharian bekerja, tibalah waktu yang dia tunggu-tunggu. Sejenak lagi dia merebahkan tubuhnya yang rontok oleh kelelahan. Apalagi perutnya yang buncit akhir-akhir ini sangat aktif. Bayi dalam perutnya itu sering menendang-nendang saat dirinya tengah menagih ongkos kepada para penumpang.
Metromini 75 terus membelah jalan yang tidak terlalu padat dengan begitu 'ringan'. Tak berapa lama kemudian, angkutan tersebut sampai di Terminal Pasar Minggu. Setelah seharian menarik penumpang, Bang Malik mengistirahatkan minibus tak jauh dari rumah pemiliknya. Bang Malik dan Tiwi turun.
"Wi, ini jatah elu kerja hari ini," ucap Bang Malik sambil menyerahkan uang lima puluh ribuan tiga lembar.
"Tumben, Bang, hari ini gue dapet lebih. Hehe ... lumayan buat nabung lahiran anak gue."
"Iyee ... udah rezekinya jabang bayi elu, tuh. Tabung aja."
"Buat Si Bos, cukup nggak? Buat beli bensin besok gimana, Bang?"
"Udeeh ... elu banyak mikir, ah. Pulang sono. Kasihan tuh, jabang bayi elu. Udah malem."
"Ya, udah, Bang. Gue cabut duluan, ya. Sampai ketemu besok yak ...."
Bang Malik dan Tiwi mengambil langkah yang berlawanan. Bang Malik ke arah kanan menuju rumah bosnya untuk menyerahkan setoran. Sedangkan Tiwi melangkah ke arah kiri menuju kontrakannya.
Meskipun kakinya begitu berat melangkah karena lelah, Tiwi tetap melangkah dengan hati yang lapang dan bahagia. Lagi-lagi dia teringat sudah tak terhitung berapa banyak kebaikan Bang Malik terhadapnya. Bagi Tiwi, Bang Malik bukan sekadar rekan kerja, melainkan sudah seperti kakaknya sendiri. Maklum, di Jakarta dia tak memiliki seorang pun sanak saudara.
Pratiwi, nama aslinya. Orang-orang di terminal biasa memanggilnya Tiwi. Perempuan berdarah asli Sunda. Lahir dari keluarga sederhana di Sumedang. Dia anak ke enam dari tujuh orang bersaudara. Dua orang kakak perempuan, 3 orang kakak laki-laki dan seorang adik laki-laki. Kakak-kakaknya semuanya lulusan SD. Sedangkan Tiwi lulusan SMP. Selepas SMP Tiwi pernah masuk pondok pesantren. Namun Tiwi hanya bertahan sebulan karena orang tuanya tak mampu membiayai. Di antara para santri perempuan, Tiwi terbilang santri perempuan yang 'jagoan'. Tiwi pernah menangkap pencuri yang menyusup ke pesantrennya.
Putus dari pesantren, Tiwi merantau ke Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tukang cuci di sebuah laundry. Namun kedua jenis pekerjaan tersebut dijalaninya tak begitu lama. Kemudian dia beralih profesi menjadi seorang kondektur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Semua | Antologi 15 Cerita Cinta Ragam Warna
SpiritualCinta untuk Semua | Antologi 15 Cerita Cinta Ragam Warna By Jahar Semua cerita diprivate, kecuali Mekah Bertabur Cahaya dan Pakuda. Kedua Cerita ini juga bisa dibaca Free di Google Play Books. Cinta universal tertuang dalam ragam plot dan cerita...