Part 1

916 139 28
                                    

"Besok gue ada ulangan kimia." Aku membuka percakapan ketika sadar Willi terlalu asik dengan urusannya lalu mengabaikanku.

"Ooh ... terus?" Willi bertopang dagu lalu menatapku intens. Dari gelagatnya yang seperti ini, entah kenapa aku jadi salah tingkah sendiri.

"Minimal sebagai teman lo ngajarin gue kek, kasih support gitu." Aku mengerucutkan bibir. Walau aku sudah terbiasa dengan sikap Willian yang labil—kadang over perhatian, kadang kurang perhatian.

"Kalau sebagai teman gue nggak maulah ngajarin lo. Coba lo pacar gue, pasti udah gue ajarin deh soal kimia yang mumetin kepala itu." Ini yang tidak aku suka, bahan bercandaan Willian itu nyebelin. Selalu ngasih harapan.

"Masalahnya gue nggak mau jadi pacar lo." Aku membuang muka, takut kalau pipiku merona dilihat Willian.

"Gitu, ya? Kalau gue maksa gimana?"

"Tetep nggak mau. Apa hak lo maksa-maksa gue?" aku mengangkat dagu supaya ekspresi muka-ku keliatan keren.

"Nggak ada sih sebenernya." Nada bicara Willian mengecil. Dia memalingkan muka ke jendela luar. Beberapa detik setelahnya matanya memicing. "Ngapain Hans, ke sini?"

Aku ikut menoleh ke samping dan menemukan seorang cowok yang wajahnya familiar baru saja turun dari mobil.

"Ada urusan kali." Aku menjawab pertanyaan Willi dengan santai.

"Anak-anak butuh lo." Ucap Hans ketika sudah berada di samping meja kami. Pakaian yang dikenakan Hans sudah kusut masai. Sepertinya aku tahu tujuannya ke sini.

"Van, lo pulang sendiri nggak pa-pa, kan?" Willian sudah bangkit dari duduknya. "Gue mau main bentar."

"Nggak boleh." Aku menghalangi jalan Willian. "Mau gue aduin ke orang tua lo?"

"Aduin aja kalau mereka ada di rumah." Suara Willian bergetar, mengingatkanku pada kesibukan kedua orang tuanya.

Kemudian dengan tergesa, Willian pergi dengan Hans dan meninggalkanku.

Sendirian.

Begitulah seorang Willian Axel Dinata. Jika sedang terlibat perkelahian, dia akan berubah seperti kopi.

Dia hanya akan enak jika ampasnya mengendap ke bawah.

☕☕☕☕

Setelah kerongkonganku teraliri kopi, aku meletakkan cangkirnya dan mengangkat ponselku yang sejak tadi terus menyanyikan lagu Want To Want Me milik Jason Derulo.

"Lagi belajar, entaran aja nelp—"

"Ini gue." Suara dari seberang, memotong. Serak, sepertinya dia babak belur.

"Kenapa nelpon gue? Mau ngadu tentang pipi lo yang lebam-lebam? Mau ngejelasin kenapa lo bisa berantem? Mau ngejelasin kronologisnya? Mau ngasih tau darah yang keluar dari tubuh lo empat ember? Mau minta perban gara-gara di rumah lo kotak p3k-nya digondong pocong?" cerocosku panjang lebar.

"Kenapa lo mau ngangkat telpon gue? Katanya mau belajar." Terdengar nada bicara Willian santai, beda dengan napasku yang naik turun.

"Eh, eh... " Aku gelagapan sendiri. "Nggak usah ngalihin topik! Jawab pertanyaan gue tadi."

"Lo ngomong kayak roller coaster. Jadi gue nggak inget detail pertanyaannya."

Willian berdeham, terdengar suara angin berisik dari seberang. Willian pasti tidak sedang di rumah.

"Gue udah biasa nggak diinget." Aku mengerucutkan bibir. "Jadi kenapa lo nelpon gue?"

"Gue nginep di rumah lo, ya?"

My Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang