Part 8

517 59 15
                                    



Willian mengambil mobilnya dengan langkah tergesa. Malam ini teman-temannya membutuhkannya lagi.

"Berkelahi lagi?" suara faimiliar itu tidak menghentikan langkah Willian. Dia menghiraukan Papanya, lalu tetap berjalan keluar. "Stay on where you stand."

"Kenapa saya harus menuruti perintah anda?" meskipun Willian berhenti, tapi pikirannya sudah pergi ke tempat lain.

"Aku Papamu, Willian."

"Papa?" Willian tersenyum kecut. "Anda bukan siapa-siapa lagi, sekarang status anda hanya pebisnis terkenal dunia yang punya seorang istri bernama Laurinda Agneta."

"Sebut saja apapun yang kamu mau, kamu tetap anakku. Aku tetap ayahmu. Darahku terus mengalir di nadimu. Tidak ada yang berubah." Pria paruh baya itu berjalan mendekati anak semata wayangnya.

"Darah saja tidak cukup untuk membuatku menjadi suara anda." Karena mendengar ada derap kaki yang mendekat ke arahnya, Willian langsung menghindari rumah lalu masuk mobil.

Dia butuh pelampiasan malam ini.

☕☕☕☕

Kafe orange. Di antara persaingan ekonomi yang begitu membuncah. Hanya kafe ini yang selalu jadi tempat kesukaan Vanna dkk.

"Lo udah ngabisin dua cangkir kopi, dan mau nambah lagi?" Reval menatap parno pada Vanna yang sudah bersiap-siap menyeruput kopinya lagi.

"Lo mau nggak tidur malam ini?" Ravel menggeleng takjub karena kelakuan temannya.

"Gue udah kebal kafein, lemah kalau liat bantal sama guling. Jadi gue nggak mungkin nggak tidur cuma gara-gara ninum kopi," aku tersenyum lebar seraya meletakkan cangkir kopi-ku kembali di atas meja.

"Kak Ceeko sabar ya ngadepin adek kayak gini," Ravel mendecak. "Udah kali, Vann."

Setelah tegukan terakhir biasanya Vanna tersenyum lebar memastikan kafein favoritnya benar-benar habis, tetapi malam ini, tubuhnya malah kaku seperti rohnya baru saja dibawa terbang.

"Nah loh, kenapa lagi dia? Duduh ... Rev! Kalau Vanna mati duduk, lo yang tanggung jawab ya! Kan lo yang ngebolehin dia mesen kopi terus," Ravel panik melihat tubuh Vanna diam tanpa gerak. "Lo masukin seanida, ya?! Haduh, Reval ... masa Vanna jadi Mirna kedua, sih!!"

"Dikira gue jelmaan Jessica," Reval memegang bahu Vanna yang masih tidak bergeming, diguncangkannya tubuh itu sampai Vanna bergerak.

"Vann, kita belum ulangan kimia, kalau lo mati gue nyontek sama siapa? Tau sendiri anak di kelas kita pelit-pelit," Ravel mengambil cangkir bekas minum Vanna tadi lalu mendengusnya— "Masih bau kopi, nggak ada seanidanya, tapi kok?!"

"Willi," bisik Vanna lirih setelah tubuhnya tadi mati total.

"Kenapa sama Willi?"

"Gue punya firasat nggak enak sama dia," Vanna menoleh pada Reval. "Dia pasti berantem lagi."

"Kontak batin, heh?" Ravel mengacak rambutnya yang sudah berantakan karena panik tadi. "Jadi, sekarang mau apa? Nyari balok es itu?"

"Kenapa enggak?" Reval mengangkat alis lalu berdiri, tidak lupa dia meletakkan uang di bawah piring. "Kita cari Willian."

☕☕☕☕

Willian menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, meski darah masih mengalir deras dari kepalanya, dia masih bisa tersenyum. Dia sudah melakukan pelampiasan.

Tentang darah segar yang merembes, itu semua karena Willian berusaha menghindar dari linggis dan berakhir dipukul sampai kepalanya membentur aspal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang