Part 6

323 67 10
                                    


Terbang, melayang, jatuh. Kau tahu? Tiga fase itu yang kulalui saat di dekatmu

☕☕☕☕☕

VANNA

Aku berulang kali melirik jam arlojinya, padahal dia tahu pelajaran sosiologi ini masih lama akan berakhir.

"Jam tangan lo jarumnya berubah jadi ular?" bisik Ravel, menutup mulutnya dengan telapak tangan agar gurunya yang mengajar tidak melihat bibirnya yang komat-kamit. "Dilirikin mulu."

"Gue cuma bosen." Aku menekuk wajah, memburamkan penglihatan.

"Biar nggak bosen ... gue curhat ke elo, deh." Ravel melirik gurunya dulu, baru setelahnya menggeser kursinya mendekat ke dekatku.

Memanfaatkan keadaan, aku menoyor kepala Ravel. "Dimana-mana, harusnya lo yang nawarin gue buat curhat, ini malah lo yang mau curhat, tambah sumpek, ih."

Ravel cemberut sebentar, kemudian tersenyum dikulum. "Ini masalah Willian."

Sejujurnya, ketika Ravel menyebutkan nama Willi, aku seperti disuntikkan semangat. Tidak ada lagi kata bosan.

Tetapi, mengingat yang di sampingku Ravel, aku berusaha bersikap seperti bicara. "Emang ... Willian punya masalah?"

Ravel bengong karena pertanyaanku. Setelah lima menit menjadi orang bego, Ravel mengangguk ragu. "Masalahnya ... euhm ... masalahnya ... egh ... apa, ya? Gue kok lupa?"

Detik ini juga aku mengubah persepsi, ocehan Ravel jauh membosankan dari pada ocehan guru sosiologi.

"Aduh!! Gue lupa, njir ..." Ravel mencak-mencak. "Anjay ... Vann ... gue pikunan."

Aku mengabaikan ocehan Ravel dan memasang wajah bodo amat untuknya. "Tuh di depan lo ada meja, tubrukin kepala lo ke mejanya gih, kali aja amsenia dadakan lo hilang."

"Amnesia, kali." Ravel berhenti bersikap aneh dan mmilih tenang. "Ooh!" Ravel bertepuk-tepuk tangan, pelan. "Gue inget!"

"Apaan?"

"Anaknya pak Marhan, gebetan kembaran gue, duduk di samping Willian. Mereka semeja. Dan ... spoilernya, Reece deket sama Willian akhir-akhir ini."

Aku melirik wajah Ravel, memastikan kebenaran yang tersirat di matanya. Benar saja, matanya begitu polos dan bening. Tidak ada nada kebohongan di sana.

"Dulu ... fans Willi juga gitu." Aku memalingkan wajah. "Peduli banget sama Reece, Willian sebalok es itu mana mungkin bisa leleh sama orang formal kaya Reece."

Ravel mendengus. "Itu yang namanya masalah. Willian bahkan mau ngeladenin Reece."

Aku mengerutkan dahi. "Reece ketemu Jin Tomang di pohon mana?"

"Nggak usah bawa-bawa Jin." Ravel bergidik ngeri. Sambil mengusap-usap lengannya. "Gimana kalau sahabat sekaligus gebetan diam-diam lo itu nyantol sama Reece?"

"Gue bahagia, seenggaknya cowok yang gue suka normal, masih punya ketertarikan sama lawan jenis." Aku menarik bibir simetris, mencoba tersenyum meski ada yang berdetak ganjir dalam tubuhku.

"Bahagia jigong lo! Mata lo aja udah merah." Ravel memasang wajah meremehkan. Sesekali matanya melirik ke depan—memastikan bahwa guru sosiologi kami tidak mengetahui bahwa kami mengabaikan pelajarannya.

"Mata gue merah karena ketumpahan lipstick." Aku menopang dagu, berakting menatap papan tulis yang sudah dibubuhi puluhan atau bahkan ratusan huruf.

"Lipstick nggak bisa tumpah." Ravel memutar bola mata. "Terserah lo deh, asal nanti kalau ada berita Willian sama Reece jadian, jangan dateng ke gue buat curhat sambil nangis darah."

My Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang