VANNA
Cahaya putih fajar seolah menusuk pupil mataku. Di atas ranjang yang berantakan, aku meracau tidak jelas. Jangan tanya apa penyebab racauanku, otakku sendiri tidak mengerti maksud kelakuan anehku itu.
"Hari ini kamu pergi bareng Willi, wake up, i dont like you late." Kata Ceeko membuka selimut yang membungkus tubuhku.
Aku menggeliat ke kanan lalu menguncir rambut yang sengaja kugerai dengan kondisi memejamkan mata.
"Gosh... Oh come on Vanna." Ceeko menyentil keningku pelan. "Atau kakak yang buka baju kamu. Terus kamunya kakak ceburin ke kamar mandi?"
"Kak Ceeko cabul plus kejam!" Setelah berjuang susah payah, akhirnya rasa kantukku hilang. Dengan muka bantal, aku berjalan ke kamar mandi.
Aku mengibaskan rokku yang terkena serpah-serpah roti. Setelah memastikan rokku kesat, aku tersenyum pada Ceeko.
"Willi itu emang sok-sokan, pake acara ngeremehin Vanna bakalan telat." Aku melirik ponselku yang ada di meja. "Pasti .... dia mau—"
"Udah?" suara yang mirip dengan suara Willian saat ditelpon kemarin malam, terdengar. Entah itu suara asli atau hanya gema di telingaku.
"Kak?" aku menoleh ke arah Ceeko. "Denger suara orang nggak?"
"Denger, yang barusan ngomong Willian, dia udah ada di sini sebelum kamu bangun, kamu telat lagi hari ini." Jawab Ceeko geleng-geleng kepala, bingung karena sikapku.
Aku membelalakkan mata, cukup terkejut karena omongan Ceeko. Aku membalik badan dan melihat Willian berdiri sambil bersidekap tangan di dada.
"Will, sekali lagi gue bilang makasih, lo udah mau nganter Vanna." Ceeko menepuk bahu kanan Willian lalu tersenyum.
"Nganterin Vanna nggak sebanding sama kamar yang sering kakak pinjamkan." Willian ikut tersenyum samar, aku hampir tertawa terpingkal-pingkal mendengar logat bicara Willian.
"Drama selesai, aku udah telat." Aku berdiri di antara dua cowok tinggi itu. Berharap mereka bisa cepat selesai beradu drama.
Ceeko tersenyum jahil sebelum mengangguk. "Inget ya, walaupun kalian cuma berdua dalam mobil, kalian nggak boleh ngapa-ngapain."
"Bernapas juga nggak boleh?" aku menaikkan alis dan menatap Willian, memberi isyarat bahwa kami harus segera berangkat. "Lagian, kita berdua tuh sahabatan, nggak mungkin ngerusak satu sama lain."
Giliran Ceeko yang mengangkat alis dan memasang wajah sengak. "Cowok sama cewek nggak bakalan bisa ngejalin persahabatan tanpa perasaan."
Untungnya, aku sekarang tidak memegang gelas kopi atau menyeruput kopi. Jika iya, mungkin aku sudah tersedak. Seperti cerita-cerita klise di sinetron.
"Bisa, buktinya aku sama Willi bisa." Aku memberanikan diri untuk mengamit lengan Willian.
"Cewek suka bohong, Will." Ceeko melambaikan tangan, menyuruh agar kami segera berangkat.
"Yang dibilang kak Ceeko itu bener, gue juga ada rasa sama lo." Celetuk Willian tiba-tiba.
Kalian tahu? Malaikat baru saja meminjamkan sayapnya padaku, kemudian aku terbang.
"Maksud lo?"
"Gue punya rasa sama lo." Jeda sejenak. "Rasa solidaritas sebagai teman dan rasa takut kehilangan."
Nyes.
Aku jatuh.
Jatuh itu memang gabungan dari lima huruf sederhana, tapi rasa sakitnya luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Other Half
Teen FictionYang harus kamu ketahui, perbedaanmu dengan kopi adalah, kopi adalah minuman, kamu adalah manusia. Kopi tidak selalu hangat, kamupun begitu. Kopi bisa berubah dingin, kamu bisa lebih dingin. Kopi adalah sesuatu yang selalu membuatku tenang, kamu ad...