Part 3

455 96 16
                                    

Sesuai amanat yang diberikan ketua ekskul mading, aku segera menuju loker untuk mengambil struk yang harus dibawa.

Tenggorokanku tercekat begitu melihat Willian juga ada di sana.

"Mau ngapain?" suara bass khas Willian menyapaku. Aku hanya mampu cengengesan kemudian menuju loker milikku.

"Gue mau ke percetakan, ngambil plamfet buat keperluan ekskul mading." Jelasku menjawab pertanyaannya.

"Naik?" dia menyipitkan mata, lalu mengamatiku dari atas sampai bawah.

"Motor sama Ravel, lagian dekat, kok." Lagi-lagi aku tersenyum. Setelah ini aku harus datang ke psikiater, menanyakan kenapa aku terus menerus tersenyum.

"Kenapa nggak pake mobilnya Reval?"

"Cepetan pake motor." Aku mengunci kembali lokerku dan menatap Willian. "Pergi, yah."

"Vann." Panggil Willian membuatku merasa sekarang pengendali kakiku adalah suaranya. "Bawa jaketnya." Entah darimana, di tangan Willian sudah tergeletak jaket.

"Will, lo lagi nggak sakit, kan?" aku maju dan memegang kening Willian, dengan posisi berjinjit. "Nggak panas. Tapi, lo kok rada-rada gendeng hari ini?"

"Bawa aja, nggak usah dipake dulu." Willian memasukkan jaket itu ke dalam tas sandangku yang baru saja kuambil dari loker tadi.

Aku mengganguk pasrah. "Gue pergi."

☕☕☕☕

Yang bergelanyutan di kepalaku adalah pertanyaan sederhana. Darimana Willian tau siang ini akan hujan?

Posisiku dengan Ravel adalah di undakan teras toko. Sambil menunggu hujan reda.

"Pake aja jaketnya, lo ntar masuk angin." Ravel mengusap-usap telapak tangannya, supaya panas bisa mengaliri suhu tubuhnya.

"Gue pake jaket, lo enggak. Temen macem apa gue?" aku menatap trotoar jalan yang sekarang mulai licin dan basah.

"Lo temen gue?" Ravel memutar tubuhku. Menatapku secara keseluruhan dengan pandangan aneh. "Kok gue nggak nyadar?"

Aku meniup poniku. "Yaudah deh, gue pake jaket Willi, terus nerobos hujan." Aku mengambil ancang-ancang untuk meninggalkan Ravel.

"Eeh ... eh ... iya, iya, lo sahabat gue. Cahaya hidup gue. Segalanya buat gue. Jangan ngambek dong Vanna Naura Reiss." Ravel menahan lenganku dan menggiringnya lebih dekat ke jendela toko.

"Dikiranya gue kembaran dia. Kambing." Aku mengerucutkan bibir. Kesal dengan segala celotehannya.

"Eh, Vann." Kali ini, nada bicara Ravel agak serius, biasanya kalau sudah serius, Ravel sedang memikirkan imajinasi-imajinasi aneh. "Apa ... Willian itu dukun? Peramal? Balian?"

"Apa sih, Rav, lo lama-lama gue masukin ke RSJ." Aku jadi teringat salah satu novel yang pernah kubaca.

Kesebelas, aku dan Ravel sama-sama pecinta sastra. Makanya kami hafal beberapa julukan dalam novel.

"Aneh aja, kenapa dia bisa tau hari bakalan hujan? Pake minjemin jaket segala." Ravel menggigit jari telunjuknya. Setelah kutatap kelakuannya, dia melebarkan mata. "Apa? Menurut lo apa yang bisa dilakuin para jomblo selain gigit jari pas ngeliat atau ngedenger hal romantis?"

Aku menarik jari telunjuknya supaya bebas dari rasa sakit. "Mending lo potong leher daripada gigitin jari."

"Mending gue sahabatan sama Belzee, daripada sama lo. Miris hidup gue." Celoteh Ravel menghitung rintik hujan yang jatuhnya perlahan.

"Yaudah abis ini, lo lari ke kelasnya. Deklarasikan diri, kalau lo sahabatnya." Tugasku malas, menyadari hariku penuh dengan nama Belzee, aku mendecih.

My Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang