Part 2

546 113 26
                                    

"Semoga ulangan lo lancar, Ekor Tupai." Kemudian tangan Willian mengacak-acak rambut cokelatku.

"Nggak usah masang muka macem tomat busuk." Aku hampir terjerembab ke belakang saat memasuki kelas, bukannya melihat kursi dan meja aku malah melihat kain putih. "Kapan lo jadian sama balok es itu?"

"Willian bukan balok es." Aku memutar bola mata malas. "Dia manusia, bisa bernapas, sahabat gue."

"Ooo ... " Cewek itu melipat tangan di dada. "Nggak mau nambahin embel-embel kalau Willian ganteng?"

"Tambahin aja sendiri." Aku menggeser tubuh Ravel ke samping, "Udah, gue mau belajar kimia!"

"Dianterin sama Willian bikin otak lo korslet, ya?" Ravel mengikuti jalanku menuju kursi kesayanganku. "Tumbenan gitu mau belajar kimia."

"Biarin, dari pada lo rela tidur jam dua malam demi nyelesaiin tugas ilmiahnya Hans." Cerocosku asal menyebutkan rahasia Ravel.

"Nggak usah kenceng-kenceng, suara lo tuh mirip suara gajah histeris karena kakinya nginjak eek singa." Ravel menjitak kepalaku, lalu duduk di atas meja.

"Singa emang bisa eek? Gue nggak pernah ngeliat fesesnya." Aku malah menyamarkan sebutan untuk hal aneh yang kami bicarakan.

"Liat aja Willian ke kamar mandi."

Ravel menarik buku paket kimia yang baru kubuka.

"Ravel mesum!"

"Apa sih, bagian mana coba yang mesum?" Ravel menutup buku paket itu kuat-kuat, menyembunyikannya di dalam laci,

"Masa nyuruh gue liat Willian di kamar mandi." Aku geleng-geleng kepala. "Lagian gue penasarannya sama eek singa bukan eek Willian."

"Nama pacar lo itu siapa?"

"Willian Axel Dinata."

"Oooh ... Willian, gue kirain Willion." Ravel nyengir lebar. "Eh, ciee ... ngakuin Willian pacarnya."

"Eh, enggak." Saat ini aku bisa merasakan dua pipiku pias.

"Ada kabar baik!" ketua kelasku berteriak dari depan kelas. "Buk Slifna nggak dateng, katanya kepalanya puyeng."

Koor membahana dari kelasku itupun menggema, padahal ini hanya berita yang memberitahukan bahwa guru kimia kami tidak datang.

Mungkin efek Willian.

☕☕☕☕

Usai diisi dengan data buku, penjaga perpustakaan itu tersenyum dan mengembalikan novel dan kartu milikku. Aku baru saja meminjam buku di perpustakaan bersama sohib karibku.

"Itu pada kenapa, deh?" Tanya Ravel bingung melihat kerumunan siswa yang ada di taman.

"Kayaknya seru, lihat yuk?" aku menarik tangan Ravel yang kosong, setelahnya bergegas berlari ke taman sekolah.

"Kembaran! Ravel-ku sayang!" Seorang cowok melambaikan tangannya ke arah kami. Dari penampilan dan nada suaranya kami hafal siapa pemilik suara itu.

"Itu orang nggak bisa berhenti norak walau cuma sehari aja kali, ya?" Ravel mengusap wajah, "Gue nyesel dilahirin dari sperma yang sama kayak dia."

Aku menoleh ke samping untuk memelototi Ravel. "Tuh, kan ... Lo mulai mesum." Aku geleng-geleng kepala. "Udah, yuk, ke tempat Reval."

Kalian bingung?

Baiklah, akan ku hapus rasa bingung kalian.

Pertama, Ravel-Reval itu adalah saudara kembar.

Kedua, nama kepanjangan Ravel adalah Ravel Ruscha. Dia duduk di kelas yang sama denganku; XI Bahasa 1. Dia punya tubuh yang hampir menyerupaiku. Bedanya iris mata Ravel berwarna biru muda. Dulu, ada juga yang mengira kembaran Ravel adalah aku, bukan Reval.

My Other HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang