endless hope

156 4 3
                                    

Alunan musik klasik terdengar lembut mengalun memenuhi seisi ruangan restoran tempat elisa duduk saat ini. Sementara hati elisa justru bertentangan dengan lagu itu, ia tak henti-hentinya mengelap keringat yang terus bercucuran dari telapak tangannya.

Bukan, bukan karena udara yang panas, tetapi karena ia terlampau gugup. Kalau sudah gugup, tangannya selalu berkeringat. Meski umurnya sudah 24 tahun, kalau masalah gugup, elisa tak ubahnya seperti anak sekolahan saja.

Elisa terus mengecek jam tangannya berulang kali. Waktu sudah berlalu dua jam lebih lama dari yang telah dijanjikan, tapi sampai saat ini elisa masih belum melihat batang hidung pak roni, si ceo majalah fashion terkenal itu.

‘bapak itu ga mungkin lupa kan..’, pikir elisa cemas.

Dengan ragu ia mengambil smartphone-nya dari tas, ‘gue telpon ga ya..’, gumamnya dalam hati. Tapi pikiran itu ia buang, ia sejujurnya agak takut kalau harus menelpon bapak itu lagi. Terakhir  kali ia menelpon pak roni dua hari yang lalu, yang ia dapatkan jawaban dengan suara marah. Bapak itu ga suka ditelpon kayanya. Ia akhirnya memilih menaruh smartphone nya di atas meja.

‘sabar.. sabar elisa, mungkin dia kena macet atau mobilnya mogok. Think positive.’, Ia meneguk fruit punch nya lagi. Gelasnya sudah di refill 6 kali, dan sekarang gelas itu sudah kosong lagi.

‘Aduh.. masa gue minta refill lagi sih’, Ia melirik gugup pada pelayan restoran yang melihatnya dengan tatapan bertanya. Kenapa juga ia memilih masuk ke restoran yang sepi gini..

Tepat saat itu, smartphonenya berdering.

PAK RONI ! AKHIRNYA !

“Ha-Halo pak !”, jawabnya penuh semangat. Saking semangatnya elisa tidak sadar kalau ia sampai berdiri. Ah, masa bodo lah diliatin, yang penting akhirnya ia bisa dapat kabar dari pak roni.

“i-Iya pak, saya sudah di dalam restoran dari tadi. Apa? Ah tidak apa-apa pak.. saya juga tadi agak telat pak.”

‘telat lima menit’, elisa menambahkan dalam hati.

“iya benar pak, nama restorannya clique. Warnanya.. mm..”, aduh warna restorannya apa ya..

“ah iya benar, biru maksud saya pak. ... baik pak, terima kasih banyak.”, ia menutup telpon dengan perasaan lega. Diambilnya kaca kecilnya dan dirapikannya rambutnya seadanya. “Oke, rambut oke, baju oke, sepatu oke. semoga tawaranku diterima. amiin. Relaks, elis..”, harapnya seraya menarik nafas panjang.

Tak berapa lama akhirnya pak roni itu muncul juga di hadapan elisa. Ia mengenakan jas semi formal yang sangat fashionable. Umur boleh 40an, tapi gaya ga kalah sama anak muda. Elisa pun menyambut bapak itu dengan senyuman secerah lampu neon, walau tangannya terus bergetar karena gugup. Tuhan.. aku mohon, kali ini jangan gagal..

... LAGI. Ia berharap usahanya tidak akan gagal lagi. Tapi ternyata jawaban yang diberikan pak roni tidak seindah yang elisa harapkan.

Selesai percakapan, ia mengambil gelas fruit punch nya, walau isinya sudah kosong. Hatinya terasa hampa. “ja-“, ia menelan ludah, “-jadi, majalah Y tidak tertarik dengan sepatu buatan saya?”,

“hmm.. bukan begitu, sepatu buatan kamu menurut saya lumayan. Hanya saja, image nya agak sedikit berbeda dengan image majalah Y yang berjiwa muda.”,

Oke, jadi image sepatu dia berjiwa tua gitu?

“yah.. kalau untuk mengiklankan saja, kami bisa memasukkan merek sepatu kamu ke majalah kami. Tapi kalau untuk partnership, maaf.. sepertinya belum bisa.”

... suasana sekejap hening, lalu pak roni berdehem dan pikiran elisa kembali ke alam sadarnya lagi.

“ah iya maaf pak, saya jadi melamun.”, ucap elisa dengan nada yang dibuat-buat supaya terdengar riang. Padahal dalam hatinya, ia rasanya ingin mengamuk, kalau memang ujung-ujungnya ditolak kenapa juga pak roni mengatakan ingin bertemu dengannya. Ia bahkan menunggu seperti orang bodoh sampai dua jam. Hh, sabar elisa.. sabar..

Tiba-tiba pak roni bertanya, “kamu, mm.. kalau saya boleh tau, kamu itu keponakannya pak darmawan ya? Pemilik perusahaan D.M. itu lho..”,

Raut wajah elisa kembali menjadi kusut. Dan hatinya makin bertambah kusut. ‘Oke, kenapa sekarang dia bawa-bawa nama om gue’, ujarnya dalam hati.

Ia hanya bisa mengangguk pelan dengan tidak antusias, sementara pak roni itu wajahnya menjadi sumringah seketika, sangat berbeda saat elisa menemui beliau beberapa hari yang lalu.

“Ya ampun, kenapa kamu tidak bilang dari kemarin-kemarin ! saya jadi tidak enak telat datang kemari. Bagaimana kabar pak darmawan? Beliau orang yang luar biasa sekali lho.”, ujar pak roni antusias. Elisa hanya tersenyum malas, lalu menunduk dan menggembungkan pipinya,  kebiasaannya kalau sedang kesal.

‘mulai deh..’, Ini bukan pertama kali dalam hidupnya ia mengalami perlakuan seperti ini. Setelah di hina bina, di puji habis-habisan. Karna apa lagi kalau bukan karena title om tirinya. Aditya Darmawan, usahawan tersukses kedua di Indonesia. Pemilik perusahaan manufaktur, perusahaan minyak, mall, dan sebagainya. Intinya, super kaya. Yah, berbanding terbalik dengan keuangan keluarganya yang menyedihkan.

Tanpa basa-basi, elisa merapikan tasnya, lalu beranjak dari kursi bermaksud pamit. Tidak ada gunanya lagi meladeni bapak ini.

“Lho, kamu mau kemana? Jangan buru-buru begitu, saya kan baru sampai. Ayo, duduklah.. kita ngobrol sebentar lagi. Masalah sepatu.. yah kita bisa bicarakan lagi bagaimana baiknya. Saya juga ingin sedikit berbincang-bincang. Mungkin sepatu kamu punya prospek yang bagus ke depannya.”, pak roni mulai mengeluarkan kata-kata manisnya, sementara elisa sudah mual. Hah, Dibicarakan lagi? Bukannya tadi ia yang bilang sepatuku tidak cocok dengan image majalahnya? Palingan orang ini hanya ingin dikenalkan dengan pamanku. Bermulut manis, lalu basa basi ingin partnership dengannya. Tidak, ia tidak mau sepatunya bisa masuk ke majalah karena title om-nya. Kalau memang tidak sesuai, ya mau apalagi. Ia tidak sudi mengemis-ngemis menggunakan nama orang lain.

“maaf pak, saya harus pulang, saya baru ingat kalau ibu saya sedang sakit.”, bohongnya,  tentu saja. meskipun miskin, ibu elisa yang mata duitan itu badannya bahkan lebih sehat dari seorang tentara.

 “terima kasih karena sudah meluangkan waktu anda yang berharga untuk saya. Mungkin lain waktu saat sepatu saya sudah sesuai dengan image majalah W, saya akan menemui bapak lagi. Terima kasih banyak”

Ia langsung berlalu pergi dari restoran itu, meninggalkan pak roni yang terbengong-bengong.

“Dasar, semua orang sama saja, penjilat !”, ucapnya kesal. Lalu ia sedikit berlari menuju halte busway, dengan muka kusut.

Ia menatap sepatu yang dipakainya dengan muka lesu, kenapa sepatu buatannya ini tidak pernah diberi kesempatan?

Elisa mencintai sepatu, tapi sebesar rasa cintanya itu juga halangan yang ia hadapi. Mungkin hanya masalah waktu, sampai memang ia terpaksa harus menyerah.

Kenapa? Bukankah setiap wanita berhak memiliki impian? Kenapa ia tidak?

Lagi-lagi, elisa hanya bisa menghela nafas.

Alice in ShoelandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang