this isn't the ending, i believe it'll be the beginning

67 2 1
                                    

Dengan hati-hati elisa mengendap-endap masuk ke rumahnya. Waktu memang masih menunjukan pukul empat sore, tapi bisa berabe kalau ia sampai berpapasan dengan ibunya hari ini. Ya, hari ini, hari dimana ia terlanjur menjanjikan ‘proyek masa depan’-nya pada ibunya.

Elisa bergidik ngeri membayangkan reaksi ibunya kalau beliau sampai tahu lagi-lagi lamaran kerjasama elisa ditolak. ‘Pokoknya hari ini gue harus ngambil barang-barang, trus nginep di rumah maya’, pikirnya dengan penuh tekad.

Pelan pelan.. pelan pelan.. dengan penuh perhitungan elisa berjalan langkah demi langkah sambil memperhatikan sekeliling rumahnya. Ia harus cepat-cepat merapikan barang-barangnya, untuk dibawa ke rumah Maya – sahabatnya – sebelum ia berpapasan dengan ibunya. Padahal rumahnya itu kecil, tapi kalo lagi deg-deg-an kaya gini masuk ke kamar aja jadi berasa lamaaa banget.

Saat akhirnya elisa sudah memegang gagang pintu kamarnya dan merasa lega, tiba-tiba sebuah suara yang familiar terdengar dari belakang punggungnya,

“MAMAA.. kak elisa udah pulang terus ngendap-ngendap kaya maling !!!”

SI TUKANG NGADU, DITO !

Tanpa pikir panjang, elisa langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintunya. “Dito sialaaan.. gabisa banget sih prihatin sama keadaan orang lain!”, gumamnya kesal. Adik cowoknya satu-satunya yang masih kelas satu sma itu memang paling ga bisa diharapin. Sebelas-dua belas sama ibunya yang bawel dan mata duitan. Setelah itu suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamarnya.

Sudah pasti ibunya.

Dengan cepat elisa memasukkan sepatu-sepatu buatannya ke dalam kardus kosong. Ia harus mengamankan semua sepatu-sepatu itu sebelum...

CKLEK. Pintu kamarnya terbuka dan ibunya terlihat berdiri menatap elisa tajam sambil berkacak pinggang. Dengan cepat elisa langsung menyembunyikan kardus yang berisi sepatu-sepatunya ke belakang kakinya.

“eh, mama..”, ucapnya disertai senyum gugup.

Elisa sudah siap-siap mengantisipasi kalau-kalau ibunya akan menerobos pertahanannya dan memaksa membuang sepatu-sepatunya – seperti biasa. Tetapi tanpa diduga ibunya malah tersenyum.

“Jadi,”, ibunya mendekat ke arahnya, “proyek yang kamu ceritakan waktu itu diterima atau tidak?”, tanyanya dengan lembut sementara elisa terbengong-bengong mendengarnya. Ini ibunya ga lagi kesurupan kan? Kok tumben ga ngomel..

 “eh, ini ditanya kok malah bengong? Jawab!”

Well well, akhirnya sifat galak ibunya keluar lagi.

Pikiran elisa kembali fokus ke sepatunya, ia mengepalkan tangannya yang mulai berkeringat,  “a-ah.. itu.. uhmm.. gagal sih. TA-TAPI, please ma, kali ini jangan buang lagi sepatu elisa. Plis plis. Elisa janji deh proyek berikutnya pasti..”

Belum sempat elisa menyelesaikan ucapannya, ibunya langsung melotot tajam ke arahnya.

“PROYEK BERIKUTNYA? PROYEK APAAN LAGI ELISA?”, tanyanya dengan nada jengah. Elisa hanya bisa menelan ludah, aduh.. proyek apaan lagi ya? dia sendiri juga udah kehabisan akal..

Saat elisa sedang sibuk berpikir untuk mencari alasan lain, tiba-tiba ibunya menyerahkan sebuah kotak besar padanya, “Nih buat kamu.”

“ini apa?”, elisa menunjuk kotak itu bingung sementara ibunya tersenyum menatapnya penuh kemenangan,

“..Kamu sendiri kan yang bilang sama mama waktu itu, KALAU PROYEK SEPATU KAMU GAGAL LAGI, kamu akan berhenti bikin sepatu-sepatu kamu yang ga jelas itu.”

“lalu, di kotak itu ada gaun yang dikasih sama om-mu. Sabtu besok kamu harus datang ke pesta perusahaannya menggunakan gaun itu. dan, mulai senin depan kamu juga udah bisa kerja di kantor pusatnya. Mama udah urus semuanya.”

Alice in ShoelandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang