Coincidence meet..

55 2 1
                                    

                Elisa menghitung uang yang ada di dompetnya untuk kesekian kalinya. Ia masih tidak bisa percaya, ibunya sampai menyuruhnya membeli sepatu baru hanya untuk dipakai ke pesta yang akan diadakan oleh pamannya.

Dan, harus sepatu ber-merek pula. Serius, ga penting. Sekarang terpaksa deh, ia harus merelakan isi tabungannya untuk membeli sepatu yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan.

                Elisa tidak menampik sih kalau dirinya itu penggila sepatu, tetapi kalau mengingat keuangan keluarganya (terutama dirinya) yang super pas-pas-an, daripada ia harus buang-buang uang untuk membeli sepatu ber-merek di mal, ia lebih memilih menggunakan uang itu untuk membuat sepatunya sendiri. kan, bisa lebih hemat.

                Tapi tadi saat ia bilang kalau ia akan mengenakan sepatu pesta yang ia buat sendiri, ibunya malah menjitaknya dengan ujung sapu. Elisa menggembungkan pipinya dengan sebal, memangnya apa sih yang salah dari sepatu buatannya? Meskipun desainer undercover, gitu-gitu juga dia kan tetap desainer sepatu. Dia juga punya merek sendiri, Elais. Pelanggannya juga udah lumayan banyak kok, ya.. walaupun sepatu yang ia jual hampir semuanya sepatu informal sih.

Elisa memandang salah satu toko sepatu ber-merek di mal yang ada dihadapannya dengan ragu-ragu. “masuk, engga, masuk, engga”, pikirnya berkali-kali.

Maya menyenggol lengan elisa dengan geregetan, “lis, lo sebenernya jadi mau ke toko sepatu ini ga sih? Tengsin nih gue daritadi diliatin sama satpam.”

Yang disenggol cuma cengengesan ga jelas, “hehe.. nah itu, gimana ya may.. gue juga masih bingung sih.”, ucapnya

Maya hampir melotot ke arah elisa, “Makanya liiss.. kan gue udah bilang, beli sepatu standar aja sih. Gue juga seratus persen yakin kok kalo nyokap lo ga bakalan memperhatikan sepatu lo sampe segitunya. Yang penting lo dapet sepatu cantik, makanya mending kita pergi aja ke tempat lain yuk yuk..”, ucapnya setengah frustasi. Maya tau persis bagaimana keadaan keuangan elisa – karena mereka sudah berteman baik sejak di sekolah dasar, dan ia juga sejujurnya agak kaget saat elisa mengatakan akan membeli sepatu di toko sekelas Christian Louboutin. Kalau merek standar kaya hush puppies aja udah tergolong mahal buat elisa, gimana sepatu christian louboutin coba.

Maya baru saja mau menarik lengan elisa dan menuntunnya menjauh dari toko christian louboutin yang ada di hadapan mereka, tapi elisa malah berjalan penuh tekad dan meninggalkannya memasuki ke toko itu. Maya terdiam mematung memandangi punggung elisa yang menjauh.

Elisa memutar tubuhnya menghadap maya lagi, “May, lo ngapain berdiri disitu? Sini masuk temenin gue..”, teriaknya tertahan. Meskipun keki, maya pun mengikuti elisa memasuki toko itu. Ia hanya bisa pasrah, karena kalau sudah di dalam toko dan berhadapan dengan sepatu-sepatu cantik, pasti elisa sudah berada di alam imajinasinya sendiri. ga ada lagi kata mahal maupun murah di dalam otaknya, yah kecuali ada seseorang yang menyadarkannya, dan itulah gunanya maya ada disini sekarang.

Sesampainya mereka di dalam toko, salah seorang pelayan berjalan dengan malas mendatangi mereka, “ada yang bisa saya bantu?”, tanyanya sambil tersenyum – senyum yang sayangnya terlihat dipaksakan,

Maya menatap pelayan itu dengan malas juga, ia paling bete kalau masuk ke toko mahal lalu pelayan toko itu menatapnya dengan pandangan yang seolah-olah mengatakan, ‘emang lo sanggup beli’, dan semacamnya.

Elisa tidak memperdulikan si pelayan itu, karena seperti yang sudah diduga maya, ia sudah sibuk dalam pikirannya sendiri. Elisa terpana menatap sepatu-sepatu yang dipajang di seluruh penjuru toko, yang ditata dengan sedemikian cantiknya, dan ia pun mulai berjalan dari satu sisi ke sisi lain memperhatikan dengan seksama sepatu-sepatu mahal yang ada di hadapannya tersebut.

Alice in ShoelandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang