Sepuluh.

373 57 6
                                    

Previously...

Aku membuka perlahan pintu itu dan lelaki itu berbalik menatapku dengan senyuman manisnya.

------------------------------------------------------------

"Hei," sapanya hangat. "Namaku Zayn. Zayn Javadd Malik."

Ia mengulurkan tangannya dan aku menjabat tangannya. "Aku Indiana. Indiana Jones," namaku teralu panjang, kurasa itu cukup.

"You must be my new neighbor?" aku tak bisa menerawang pasti itu pertanyaan atau pernyataan. Jadi, aku hanya mengangguk.

Zayn memiliki wajah yang tampan. Menarik. Apalagi senyumnya... ah, lebih manisan Harry tapi. Ah! Kau ini, Indiana. Harry saja yang ada di kepalamu! Inga tapa yang ia lakukan padamu.

Lelaki itu melambaikan tangannya di depan wajahku. "Apa aku mengganggu? Kurasa kau sedang tidak konsen," tanyanya.

Aku menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja."

"Kau butuh bantuanku?" ia menaikkan satu alisnya. Aku melihat ke dalam apartemenku. Satu kata untuk tempat ini, berantakkan. Aku tersenyum malu dan mengangkat bahuku. "Dengan senang hati aku membantu," ia tersenyum lagi dan masuk ke apartemenku saat aku mempersilahkannya.


Kehadiran Zayn di sini sangat membantuku. Aku tak perlu menguras banyak tenaga, jika tak ada Zayn sekarang, mungkin aku bisa tak masuk bekerja besok.

"Terimakasih banyak, Zayn," ucapku saat semua barang-barangku tertata rapi. "Aku bisa tak masuk bekerja besok kalau tidak ada dirimu."

Aku meletakkan secangkir teh panas di meja ruang tamu. "Dengan senang hati, Indiana." Zayn memajukan tubuhnya yang sedang duduk dan mengambil teh yang telah kusediakan. "Memangnya, kau bekerja dimana?"

Aku duduk di sampingnya dan tersenyum. "Aku bekerja di Mental Cure Institute di pedesaan Amsterdam. Tepatnya, dekat dengan China Town," jawabku sedikit canggung. Dijaman ini, jarang ada orang yang ingin bekerja di tempat yang banyak orang gilanya. Apalagi, di umur muda sepertiku.

Zayn membelalakkan matanya ketika mendengar jawabanku. Aku kira ia terkejut karena pekerjaanku, nyatanya tidak. "China Town?!" serunya. "Astaga, itu tempatku biasa bernyanyi!"

Aku terkekeh dan mengangkat kedua alisku. "Kau bisa bernyanyi? Bernyanyi di mananya?" tanyaku.

"Bisa kujamin, suaraku dan suaramu lebih bagus suaraku," jawab Zayn sambil terkekeh, senyumnya manis. "Aku biasa bernyanyi di sana bersama Louis—my roommate."

"Oh ya?" tanyaku. "Aku tak pernah melihatmu di sana."

Zayn lagi-lagi tertawa. "Aku biasanya bernyanyi saat matahari mulai senja. Hawanya lebih hangat dan nyaman." Aku mengangguk-angguk mengerti. "Bagaimana jika aku mengajakmu berjalan di sekeliling kota ini?"

Aku melihat ke arahnya. Apa ini date? Aku tidak tahu. Tak mungkin! Aku baru saja mengenalnya beberapa jam yang lalu. "Um, aku tidak begitu yak—"

"Aku traktir," potong Zayn dengan cengiran yang terukir di wajahnya, "please?"

Setelah kutimbang-timbang sejenak, aku menganggukan kepalaku.


"Mungkin lain kali kita bisa berangkat bekerja bersama, Indiana." Tawar Zayn saat kami melintasi keramaian malam di kota Amsterdam ini.

Aku merapatkan mantel hitamku. Angin malam ini menerobos menembus mantelku. "Ya, itu ide bagus," jawabku. Sekali-kali, aku tak usah merepotkan Thomas.

Insanity. (Harry's Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang