Chapter 2

262 17 0
                                        

"Bang Adit, Bang, bangun bang! Makan malam oii!" suara Eri membangunkanku.

"Engh ...," erangku sambil meregangkan otot-ototku. Kulihat Eri berjalan kearah meja belajar, dan mengambil sesuatu.

"Lha Bang, ini pisau buat apaan?" Eri menatapku bingung dengan mengacungkan pisau kecilku. Sial. Seharusnya tadi aku simpan kembali itu pisau.

"Um ... itu buat ... buat ngupas apel. Habis makan nanti abang mau beli buah. Habisnya akhir-akhir ini Abang mules mulu," jawabku berbohong. Eri mengangguk-ngangguk memperhatikan pisau kecil itu.

"Udah sana keluar. Abang mau mandi terus ganti baju," usirku. Eri hanya mengangguk, dan keluar kamar. Aku mengusap wajahku dengan kasar, dan mengambil handuk.

---

Selesai makan, aku meminta izin pada ayah untuk keluar rumah membeli buah-buah. Setelah di izinkan ayah, aku kembali ke kamar mengambil jaket, dompet, dan pisau kecilku serta peralatan eksekusi lainnya.

Aku kembali ke dapur, mengambil kunci motor.

**

Aku sampai di depan gedung kosong. Tempat aku mengundang Gio untuk kesini dengan alasan membahas pertandingan futsal yang kami adakan secara pribadi.

Sebelum Gio datang, aku mempersiapkan segala keperluan eksekusi. Senyum culasku muncul begitu aku memasang kamera di sudut-sudut ruangan. Kamera ini nanti akan merekam apa yang aku lakukan pada korbanku -Gio-. Jika semua terekam, aku masih bisa melihat bagaimana pesakitan korban-korbanku.

Ah. Jangan tanya mengapa aku bisa berbuat seperti ini? Aku pun tak tahu alasannya. Rasanya, setiap kali ada orang yang mengganggu ketenanganku, aku merasa haus akan kengerian dan kekejaman. Aku baru puas jika dia yang menggangguku lenyap dari dunia karena tanganku.

Aku menepukkan telapak tangan, mengibaskan debu yang menempel di tangan. Senyum miringku merekah sambil berkata di depan kamera yang sudah mulai merekam, "Let's start the game for tonight."

Buru-buru aku duduk di meja yang kuletakkan di tengah-tengah ruang kosong ini. Aku yakin sebentar lagi Gio akan datang. Sambil menunggu Gio, aku memainkan ponselku.

Yasmin pov.

Lapar! I need some food! Aku segera keluar kamar mencari keberadaan Bang Adit. Biasanya Bang Adit menyimpan banyak cemilan di sekitar kasurnya. Aku mengendap-ngendap masuk ke kamar Bang Adit, sesekali memperhatikan suasana sekitar. Sampai di pinggir kasur Bang Adit, aku mulai menggeledah area kasur. Tak sengaja aku bergesekkan dengan sesuatu yang tajam.

"Aww!" rintihku. Kulihat 4 jariku berdarah."Kok bisa luka?" aku bertanya pada diri sendiri. Kucoba mengambil barang yang tadi melukai jari-jariku. "Lha, buat apa nih pisau-pisau? Pake segala di sembunyiin lagi," ujarku.

Kutelusuri kembali sekitar. Banyak kaset DVD di belakang sandaran kasur. "Ini juga film apaan? Jangan-jangan Bang Adit nyimpen film-film blue lagi. Hiihh!" aku menerka asal-asalan. Tapi karena penasaran, aku membawa salah satu kaset DVD, dan menyetelnya di laptop Bang Adit.

###

"Hello. It's me, Aditya Irawan," ucap Bang Adit di awal video.

"Disini gue mau main-main sedikit, umm ... mungkin banyak, pelajaran kepada MANTAN teman gue. Dia udah bikin adek gue nangis, saatnya gue akan mengembalikan tangis itu ke dia. By the way, namanya Razi Novriansyah." perlahan bang Adit berjalan menjauhi kamera. Setelah beberapa menit Bang Adit menunggu di sebuah ruang kosong, seseorang datang.

"Wei bro!" sapa orang itu sambil mengangkat tangannya. Bang Adit tersenyum kecil.

"Ngapain lu ngundang gue ke gedung najis ini?" tanya Razi sambil melihat-lihat sekitar ruangan. Wajah Razi terlihat terganggu dengan keadaan gedung yang kumuh, sepi, dan sedikit menyeramkan.

"Gak mau ngapa-ngapain. Cuma ...," ujar abang menggantung. Dia menatap Razi dengan senyum sinis mengembang di bibir.

Ketika Razi hendak bertanya, tanpa diduga abang langsung meninju perut Razi, membuat cowok itu tersungkur dan terbatuk. Razi memegangi perutnya yang sepertinya kram oleh tinjuan abang. Ia juga menepuk-nepuk dadanya karena batuknya tak mereda.

"Dit, what are you doing? Are you crazy?" tanya Razi berusaha berdiri. Keningnya berkerut tanda kalau dirinya masih menahan sakit.

Abang bersedekap. "Itu belum apa-apa. Pukulan gue itu masih belum sebanding sama apa yang udah lo lakuin ke Eri."

Razi menyipitkan mata. "Emang gue ngelakuin apa ke adek lo? Gue ... gue gak pernah ada urusan sama dia."

Perkataan Razi itu berbuah satu pukulan lagi. Kali ini di rahangnya. Nafas abang pendek-pendek karena menahan emosi.

"Halah bullshit! Lo aja ngomongnya gagap. Berarti lo emang bener udah nyakitin Eri! Lo juga udah bikin gua kena hukum guru, Zi!" Bang Adit mulai menggila.

Wajah Razi makin mengkerut. "Lo gila! Cuma kek gitu aja lo mau ngebunuh gue? Huh! YOU'RE SUCH A PSYCHOPATH, DIT!" balas Razi. Bang Adit tertawa garing. Bang Adit menatap dingin Razi. "Bodo amat Zi. Yang penting gua puas!" ucap Bang Adit kalem sembari tertawa iblis.

Bang Adit mulai mengikat tubuh Razi ke kursi, dan itu mendapat perlawanan dari Razi.

Karena tenaga Razi yang sudah mulai berkurang, ditambah bekas pukulan Bang Adit yang masih terasa, Razi mulai menyerah. Dengan cepat Bang Adit mengikat Razi ke kursi.

"Mulai dari mana ya?" Bang Adit mengitari tubuh Razi yang terkulai lemas di kursi.

"Dit, tobat. Lo beneran mau bunuh gue? Gila lo," ucap Razi lemas.

"Hmm ... let me think. How about your fingers first?" Bang Adit mengabaikan omongan Razi. Ia merogoh kantong jeansnya dan mengambil sebilah pisau kecil.

"Dit, jangan gila. Gue minta maaf sama lo dan Eri," ucap Razi yang mulai takut melihat Bang Adit yang memainkan pisau kecilnya.

"ARGH!!!" teriak Razi sekeras-kerasnya saat merasakan jarinya digores pisau. "Adit, lo emang psikopat! Sh*t!" tanpa mendengarkan teriakan Razi, Bang Adit melipat jari-jari tangan kanan Razi keluar. Terdengar suara tulang patah. Razi semakin gencar berteriak.

Bang Adit berpindah posisi. "Sekarang apa ya? Siku lo boleh juga nih," ucap bang Adit sembari memegang siku kiri Razi.

"Dit, stop please ...," ujar Razi memohon.

Tanpa aba-aba, bang Adit mencubit siku Razi lalu menguliti kulit siku Razi dengan pisau kecil nan tajamnya. "Gue gak perlu permintaan maaf lo karena yang gue butuhin cuma penderitaan lo," ujar Bang Adit.

Bang Adit mencekik leher Razi, hingga Razi megap-megap kehabisan napas. Tapi sepertinya abang belum berniat menghabisi nyawa Razi karena abang melepaskan cekikannya dan berjalan mundur dua langkah. Ia membiarkan Razi menarik nafas dalam dalam.

"Gue benci sama orang yang berani mengusik ketenangan gue apalagi mengganggu adik-adik gue. Dan lo, karena lo berani nyakitin Eri, artinya lo juga berani berurusan sama gue."

Razi hendak membantah, atau setidaknya membela diri. Namun, abang sudah terlebih dahulu melemparkan pisaunya hingga tertancap di perut Razi.

###

Aku buru-buru men-close film dokumenter itu. Astaga ... apa yang baru saja kulihat? Abang? Abang tak mungkin melakukan hal itu. Abang tak mungkin seorang pembunuh.

Aku mematikan laptop abang dan buru-buru keluar dari kamar abang. Tubuhku bergetar karena takut. Bahkan aku tak sadar kalau aku sudah menangis sekarang.

"Yasmin?"

Aku menoleh mendengar panggilan dari Kak Eri. Kakak perempuanku itu berjalan mendekat dengan wajah khawatir. Aku justru semakin takut. Abang tega membunuh seseorang yang pernah menyakiti Kak Eri, apa abang juga akan melakukan hal yang sama jika aku disakiti seseorang? Kalau begitu, abang akan lebih banyak membunuh.

"Yasmin, kamu gak apa-apa? Kenapa nangis?" tanya Kak Eri. Dia memegang pundakku.

Aku langsung memeluk Kak Eri. Bibirku tak mampu terbuka untuk mengatakan kalau barusan aku melihat apa yang sudah dilakukan oleh abang. Aku masih tak percaya kalau abang seorang pembunuh.

Kak Eri membalas pelukanku. Ia tak bertanya apapun lagi. Membiarkanku menangis sejadinya.

Apa aku harus nyembunyiin ini? Atau kasih tau kak Eri? Pikirku sambil menangis.

Abangku PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang