Panas matahari siang ini tak begitu menyengat. Justru terasa sejuk karena awan lumayan mendung. Angin pun berhembus lembut, membelai tiap pori-pori kulitku dan memberikan kesegaran.
Aku berjalan menuju kelas adikku untuk menjemputnya. Dia masih kelas 1, masih takut dengan suasana sekolah yang baru baginya.
Kulihat Yasmin -adikku- berdiri sendirian sambil menyender di kusen pintu. Wajah songongnya menunjukan kalau dia sudah kesal menungguku. Tinggal beberapa langkah lagi, mata kami sudah bertemu. Yasmin berlari langsung menampar lenganku yang kurus tapi berotot ini.
"Abang kurang lama jemputnya!" omel Yasmin.
Aku terkekeh. "Yaudah, Abang balik lagi," sahutku sambil memutar badan.
Yasmin mendengus kesal, dan segera menahan lenganku. "Abang ih, makin nyebelin," ucapnya.
"Abangnya aja nyebelin, apalagi adeknya," ucapku menyindirnya yang kutujukan pula untuk adikku yang lain –Eriya-.
Yasmin menatapku sinis. "Alah. Bilangin ke Kak Eri baru digampar kau bang," katanya seraya menarik tanganku.
Refleks aku memberhentikan langkahku. "Eh, jangan deh Yas, please ...." dengan sangat terpaksa aku memohon padanya. Bisa berabe kalau sampai Eri tahu aku mengejeknya. Dia kan nyeremin kalau sudah ngamuk.
Yasmin tersenyum iblis. "Aku tetep bakal bilang, tapi kalau Abang beliin Yasmin 5 novel, Yasmin janji akan tutup mulut," ancamnya.
Lima novel? Bisa bokek kalau begini caranya. "Yaudah deh nanti Abang beliin, tapi 3 aja deh Yas." Ku nego tawarannya.
Yasmin dengan wajahnya yang semakin songong tersenyum lebar. "Sama satu cup Venti Signature Chocolate Starbucks," serunya.
Aku memutar mata, lalu menjabat tangannya. "Deal!"
Yasmin menepuk punggungku. "Bagus. Pilihan yang tepat," ucapnya. Kalau Yasmin bukan adikku, mungkin sudah aku sayat-sayat tubuhnya seperti korbanku yang lain.
Kami sudah berdiri di samping Eriya yang menunggu kami sambil memainkan ponselnya di lobby sekolah. "Kak Er ayok pulang!" teriak Yasmin yang mungkin mengejutkan Eri.
Eri memasukan ponsel ke saku roknya. Dia cemberut saat melihatku dan Yasmin. Aku hanya menampakan wajah datar. "Ayo pulang! Eri udah laper," ujar Eri sembari menggandeng tangan Yasmin. Adikku yang satu tahun lebih muda dariku itu selalu tak mau berbicara padaku kalau sedang ngambek. Apa lagi sih ini?
Aku berjalan mengikuti mereka dari belakang. Kami lebih suka jalan kaki ke sekolah atau pulang sekolah. Lebih ngirit uang jajan. Dari belakang, aku mendengar mereka mengobrol ria.
Aku mendengus keki. "Abang dicuekin nih ceritanya?" tanyaku, membuat kedua adikku berhenti berjalan dan berbalik menghadapku. Tampang mereka tak enak dilihat, sungguh.
"Anda siapa?" mereka bertanya berbarengan plus muka songong. Tuh kan ... mereka itu menyebalkan.
"Seseorang akan melukai orang lain, jika mereka melalukan hal serupa," ucapku datar.
Mereka mengerutkan dahi. "Abang ngelem?" tanya Yasmin.
Aku merubah ekspresi wajahku. "Ng--Nggaklah. Abang laper. Makan yuk! Di warung bu Rosi deket rumah. Gimana? Ikut gak?" ajakku mengalihkan pembicaraan. Mereka tersenyum songong, dan mengangguk senang.
"Oke. Abang yang traktir," ujar Eri semangat. Setelah itu, mereka berjalan meninggalkanku di belakang. Itu dua adek biadab ya, untung mereka ngga curiga.
"Kamu juga Dit, pake segala bawa emosi lagi. Hampir keceplosan, kan." Aku menggerutu sendiri.
"Woi! Abang ngapain berdiri disana? Pake ngomong sendiri lagi. Dih Abangku gilaa!" teriak Yasmin.
Aku menatap mereka dengan sinis. "Awas ya kamu Yas!" teriakku sambil mengejar mereka. Dengan terbirit-birit, Yasmin langsung menggandeng tangan Eri berlari menghindari kejaranku.
###
Sehabis makan di Rumah Padang Bu Rosi, kami langsung pulang ke rumah. Selain karena Eri yang memang anak rumahan -tak suka jalan-jalan-, kami langsung pulang juga karena itu aturan ayah dan ibu. Sepulang sekolah harus langsung ke rumah, tidak ada acara main kecuali sudah mendapat ijin. Kami sudah belasan tahun, tapi masih diperlakukan seperti anak kecil.
Sebenarnya tak masalah, namun aturan itu kadang menggangguku. Aku ini anak laki-laki yang ingin bebas. Jika ada peraturan seperti itu rasanya membuatku terkekang.
"Abang, beli novelnya besok yaa? Besok kan libur. Ya ya ya?" pinta Yasmin begitu aku mau masuk ke kamar sesampainya di rumah.
Aku mencubit pipi Yasmin yang tebalnya di atas rata-rata."Ya gak besok juga kali. Abang belum ada duit."
Yasmin merengut. Dia memegang tanganku dan menggoyang-goyangkannya. "Ayolaah Abang ... memangnya Abang mau Yasmin bilang ke Kak Eri?"
Aku menghela nafas panjang. Kedua adikku ini suka sekali mengadu satu sama lain. Kalau sampai Eri tahu apa yang aku katakan di sekolah, dia pasti ngambek dan mengadu ke ibu. Aku malas berurusan dengan omelan ibu.
"Oke," jawabku lesu. "Tapi kalau besok Abang bisanya beliin satu dulu."
Yasmin langsung bersorak gembira. Dia menepuk-nepuk pundakku antusias. "Makasih Abang!" Lalu Yasmin berjalan kearah kamarnya dan Eri.
Aku menghela nafas, melanjutkan membuka pintu kamarku. Ku tutup kembali pintu sambil melempar tas sekolahku ke atas ranjang, dan berjalan kearah meja belajarku yang di atasnya ada laptopku. Ku nyalakan laptopku. Selagi menunggu menyala, aku memperhatikan sekeliling kamarku. Seperti kamar anak cowok pada biasanya. Tetapi, ada yang berbeda. Aku menyimpan pisau-pisau kecil kesayanganku di belakang headboard kasur mungilku.
Saat laptopku sudah menyala, aku langsung membuka salah satu web rahasia. Web itu menyediakan identitas orang-orang di seluruh Indonesia yang berasal dari pendaftaran nomor telepon. Sebenarnya, web itu adalah hasil mulus pembobolan data milik Kementrian Komunikasi dan Informatika. Sampai sekarang, keganjilan web itu belum tercium.
Dengan segera, aku mengetik nama seseorang, Giovanni Tjandra. Tak lama muncul berbagai informasi tentang Gio. Aku sangat benci pada orang ini. Dia telah menantangku di depan umum. Kalian mau tau ceritanya?
Aku ikut ekskul futsal dan merupakan salah satu pemain inti, dikirimkan untuk mewakili di sebuah turnamen futsal antar SMA. Waktu itu, sekolahku lulus ke babak final di turnamen tersebut. Sekolahku bertanding melawan sekolah Gio. Kekuatan tim sekolah Gio benar-benar hebat menjaga pertahanan, tapi tim sekolahku juga tak kalah hebatnya. Babak pertama selesai, tak ada skor dari kedua tim.
Lalu pada babak kedua, tim sekolah Gio berhasil mencetak satu skor. Gio yang merupakan pencetak skor senang bukan main hingga ia melakukan selebrasi tanpa kendali. Ia berlari memutari lapangan dan tanpa sadar menabrak tubuhku sampai aku tersungkur. Untuk masalah ini, aku menganggapnya sebagai ketidaksengajaan, aku maklum. Tapi yang dilakukan Gio selanjutnya membuatku naik pitam.
Gio berdiri tanpa menolongku dengan tawa lebar. Dia kemudian menatapku dengan senyum sinis, meremehkan. "You!" –tunjuknya padaku- "LOSER!" teriaknya lancang diikuti tawa lebih lebar. Pemain lain dari sekolah Gio ikut tertawa, begitu pula dengan supporter sekolahnya.
Aku menatap benci pada Gio. Kau salah mencari musuh, batinku culas.
Aku men-download profile dan beberapa berkas penting tentang Giovanni Tjandra, terutama nomor ponselnya
"Lo yang mulai, Gi. Sorry, kalau lo harus menanggung penyesalan lo itu. Salah lo yang main-main sama gue," ujarku sedingin kutub.
Aku menambil salah satu koleksi pisauku. Ku gosokkan perlahan ujung pisau itu ke telapak tangan. Rahangku mengatup keras karena rasa marah dan benci oleh perbuatan Gio dulu.
"Gue gak sabar denger teriakan pesakitan lo," kataku sambil meletakkan pisau di atas meja samping laptop.
Aku berbaring di ranjang. Sepertinya, aku perlu istirahat untuk memulihkan tenaga sebelum memulai eksekusi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Abangku Psycho
HororCerita ini di tulis oleh dua member Fun Write Zone. Mereka bernama Eriya dan Yasmin.