"Yas udah belum?" entah sudah yang ke berapa kalinya aku menanyakan itu pada Yasmin.
"Belom. Aku bingung Bang milih yang mana," balasnya santai. Grr ... Kita udah di dalam gramed ini selama hampir 2 jam. Aku hanya menghela nafas berat sambil kembali melihat deretan buku-buku fantasi.
Selang 30 menit, ada yang menoel-noel bahuku.
"Bang, udah nih bukunya." Aku terkejut Yasmin berbisik di belakangku.
"Ngagetin aja bisanya kau dek," ucapku cemberut.
Yasmin tersenyum geli. "Cepet, Bang, bayarin. Terus kita lanjut ke Starbucks," sahutnya. Udah lama, maksa lagi. Jahh ... kenapa adekku yang satu ini ngeselin?
"Bilang makasih gitu kek," ucapku sinis.
Yasmin menatapku dengan tatapan polos. "Kan traktir Starbucks-nya belum. Jadi nanti dulu makasihnya," balasnya.
Aku melotot padanya dan kembali mengantri di kasir. Selesai membayar, Yasmin langsung menarik lengan jaketku ke lantai bawah. Starbucks lebih tepatnya.
"Bang aku pesen Signature Chocolate gelas venti 1 yaa. Aku nunggu di pojokan sana aja," ucapnya lalu berjalan kearah tempat yang ditunjuknya tadi. Anak itu ... huhh. Sabar Dit, dia adekmu, batinku.
Akhirnya aku menyusul Yasmin sambil membawa pesanannya dan pesananku. "Nih," kataku ogah dengan menyodorkan minumannya. Adekku yang songong itu tersenyum senang menerimanya.
"Nah gini. Makasih, Bang Aditku. Mwahh!" ucapnya. Makasih sih makasih, tapi ngomongnya liat ke minuman yang ada di depannya.
Disaat dia minum, aku berdehem. "Yas, kamu ngga lagi ada masalahkan?" tanyaku pelan. Yasmin tersedak dan terbatuk. Jahh, anak ini kalo urusan batuk udah kek mbah-mbah. "Pelan-pelan Yas." aku menyodorkan tisu.
Yasmin berdehem keras. "Bang Adit, nanya apaan tadi?" tanyanya.
"Kamu ada masalah apa? Kata Eri, tadi malam kamu nangis. Bukannya adekku yang songong ini paling anti nangis ya?" tanyaku sekalian menyindirnya.
Ia berdecih. "Nanya sekalian nyindir. Gak, aku gak papa, Bang. Biasa, anak muda," jawabnya santai. Tapi, kok aku rasa dia nyembunyiin sesuatu ya.
"Beneran Yas?" kutanya sekali lagi sambil menatp intens matanya. Yasmin membalas tatapanku, "suwer deh.." balasnya seolah tak apa-apa. Aku yakin pasti ada yang di sembunyikan adek songongku ini.
Tapi aku tak bisa memaksanya bercerita. Nanti ada waktunya Yasmin akan menceritakannya sendiri. Biarlah dia mengatasi masalahnya sendiri dulu. Soal Eri, dia pasti juga ngerti.
Setelah pesanan kami habis, aku mengajak Yasmin untuk pulang. Tidak ada yang kami perlukan lagi di sini. Oh ya, setelah kutanya tadi, Yasmin menjadi sedikit pendiam. Dia bahkan selalu menunduk. Sebenarnya, ada apa dengan adikku ini?
"Yasminion! Yasmin!" teriak seseorang lantang.
Aku menoleh ke sumber suara. Seorang cowok berjalan menuju tempat kami. Tatapannya tertuju pada Yasmin. Sedangkan Yasmin menatap cowok itu kesal.
"Ngapain lo kesini?" tanya Yasmin ketika cowok itu sudah di hadapannya.
"Gue butuh bantuan lo, Yas," ujar cowok itu sambil cengengesan.
Aku hanya memperhatikan mereka. Sebelumnya, aku tak pernah mengenal cowok ini. Tumben. Biasanya aku selalu mengenal siapapun orang yang menjadi teman adik-adikku.
"Bantuan apa?" tanya Yasmin lagi. Nada suaranya dingin.
"Gue lagi butuh duit nih. Lo bawa duit banyak kan pasti? Pinjemin, Yas." cowok itu mengutarakan maksudnya. Seketika saja aku langung merasa tak suka pada cowok ini. Dia bukan cowok baik-baik untuk jadi teman Yasmin. Aku yakin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Abangku Psycho
HorrorCerita ini di tulis oleh dua member Fun Write Zone. Mereka bernama Eriya dan Yasmin.