Chapter 6

224 12 9
                                    

Yasmin POV

Selesai. Itulah novel yang aku dan kak Eri tulis.

Tidak. Kalian tidak salah. Cerita itu memang benar adanya. Aku dan kak Eri hanya mengedit beberapa bagian saja. Selebihnya itu benar. Sudah 7 tahun Bang Adit mendekam di penjara. 7 tahun juga keluargaku dicemooh masyarakat. Berita bang Adit sudah tersebar di Indonesia. Bahkan pernah dibahas di beberapa channel TV luar negeri.

Ayah terkena stroke 3 tahun lalu. Terpaksa aku, kak Eri, dan ibu harus berkerja keras membiayai pengobatan ayah. Dan hari ini tiba. Hari dimana aku dan kak Eri mengadakan konferensi pers, untuk meluncurkan sebuah novel ke masyarakat. Sebuah novel yang berisi bagaimana kejamnya abang kami. Novel yang juga menjadi tempat curhat kami berdua bagaimana tersiksanya kami di masa SMA dan kuliah. Novel yang kami harapkan bisa menjadi pembelajaran bahwa tak selamanya balas dendam dapat menyelesaikan masalah.

Tapi semua itu hanya masa lalu yang susah dilupakan dan enggan dikenang. Kami berdua sudah mempunyai keluarga masing-masing. Ibu dan ayah tetap tinggal di rumah kami dulu. Hanya aku, kak Eri, dan ..., Bang Adit yang pindah.

Aku menangis tersedu mengingat kenangan pahit itu. Seorang pria merangkulku hangat. Memberikan ketenangan yang tiada duanya. Pria ini sudah bersama dengan sejak 3 tahun lalu. Hanya dia yang mendekatiku dengan tulus, tanpa perduli omongan orang lain. Kuusap air mataku, mencoba tegar kembali. Aku melihat kak Eri juga dirangkul dengan prianya. Tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang. Aku memutar badang dan langsung memeluk kembali orang tuaku. Kak Eri juga bergabung. Sampai ada dering ponselku menghentikan pelukkan kami.

"Assalamu'alaikum. Ini siapa?" tanyaku sopan.

"Hai adikku. Selamat ya atas peluncuran novelnya. Titip salam sama Eri, dan orang tua kita."

Beep. Telfon langsung mati. Aku terkejut bukan main. Tidak. Tidak mungkin dia. Dia sudah berada di lapas yang jauh dari kota ini. Yasmin ... tetap tenang. Siapa tahu hanya orang iseng. Batinku. Aku kembali memasang muka baik-baik saja, walaupun dalam hati aku sangat was-was.

***

Sudah sebulan setelan peluncuran novel, kak Eri mendapat telfon dari seorang sutradara film yang mengajak untuk membuat film dari novel kami. Dengan senang hati kami setuju. Sekarang aku sedang di toilet dekat tempat syuting. Berkaca melihat wajahku yang lebih dewasa.

'Oi Yasmin ada telfon tjoyy! Oi Yasmin ada telfon tjoyy!' aku terkejut. Hampir saja aku ingin membanting ponsel ini, setelah melihat nomor tidak dikenal.

"Hallo. Assalamu'alaikum. Dengan siapa?" tanyaku. Terdengar suara kekehan di seberang sana. Aku mengerutkan dahi, kekehannya tidak asing.

"Wa'alaikumussalam adikku. Wah ... Ini Yasmin ya? Berubah ya kamu dek. Kemana adekku yang songong? Gimana kabar ayah, ibu, dan Eri si tengik? Abang udah bacaloh novel kalian. Bagus. Hampir sama persis kejadiannya. Tapi ini belum tamat adekku. Abang akan kembali," sahut seseorang yang aku duga pasti Bang Adit. Aku segera mematikan telfonnya. Aku mulai menangis ketakutan. Aku berlari menyusul Kak Eri yang berada di ruang take, sambil berlari menelfon polisi.

"Hallo pak polisi. Apa Bang Adit masih ada?" tanyaku to the point.

"Maaf, Mbak Yasmin. Tapi sebulan lebih yang lalu, saudara anda berhasil lolos dari penjara. Kami masih mencarinya," jawab pak polisi. Aku tak peduli langsung mematikan telfon. Ku tarik bahu Kak Eri, supaya menghadapku.

"Kamu kenapa Yas?" tanya Kak Eri khawatir.

Aku menggeleng, terus menangis ketakutan."Bang Adit lepas," ucapku pelan, "ini belum berakhir Kak Er," lanjutku ketakutan.

ENDING

Abangku PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang