9. Aku Sarah"A-aku cuma menebak saja," ucap Emilly gugup.
Aku mengkerutkan kening berusaha berpikir karena alasan yang diucapkan oleh gadis itu menurutku sangat aneh. Bahkan terkesan mencurigakan. Sebab tidak ada dari satu siswi pun di sekolah ini yang mengetahui bahwa ada seseorang yang menghilang. Dan ketika aku mendengar Emilly mengatakan bahwa Gween lah yang menghilang, tentu saja membuatku sangat terkejut juga menjadi curiga.
Kerutan di dahiku belum menghilang, bahkan aku berusaha menganalisis perubahan mimik wajah gadis itu dari caranya berbicara dengan Sabrina. Sampai dengan membaca arti sorot mata gadis itu tak luput dari pengamatanku. Dan itu membuatku tertarik untuk berusaha mengetahui isi hatinya. Dan kesimpulannya hanya satu, sorot mata gadis itu sangat jelas menunjukkan bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Bahkan dari bahasa tubuhnya pun mengatakan bahwa gadis itu memang mencurigakan.
"Hmm ..., Sarah kau ingin lihat ini?" suara Sabrina membuyarkan konsentrasiku. Demi missiku ini aku tidak mau membuat kedua gadis itu curiga. Maka aku pun mengalihkan pandangan kepada gadis berambut pirang itu.
Kulihat dia sedang memegang sebuah kertas berukuran 30×20 cm. Dan ketika kertas itu menghadapku, ternyata itu adalah sebuah lukisan. Ya, lukisan yang sangat indah menurutku, sebuah bangunan bergaya Victoria lengkap dengan batu bata merahnya yang masih menjadi ciri khas tempoknya.
"Sepertinya aku pernah melihat bangunan itu. Tapi di mana?" pikirku.
"Wow ... indah sekali. Lukisan siapa itu, Sab?" tanyaku untuk mengalihkan pemikiranku itu.
Sabrina tersenyum lalu menunjuk ke arah Emilly.
Aku menyernyit sembari menatap lekat wajah cantik gadis itu. Apakah benar dia yang melukianya?
"Sabby, kenapa kau tunjukkan itu kepadanya, hah!" bentak Emilly dengan suara lantang, lantas mengambil kertas itu dari tangan Sabrina. Dari sana aku melihat dengan jelas, bahwa Emilly benar-benar kesal akan ulah temannya itu.
"Ke-kenapa dia membentak temannya hanya karena menunjukkan hasil lukisannya kepadaku? Ini menarik." pikirku, lalu kusunggingkan senyum miringku.
Kulihat wajah Sabrina memucat setelah dia mendapatkan bentakkan dari temanmya itu. Bahkan ketika Emilly mengambil paksa kertas hasil lukisannya dari tangannya, dia seperti akan menangis namun.
"M-maafkan aku, Emmy." lirihnya sembari mendekati temannya itu. Ketika kulihat Sabrina sudah ada di belakanh tubuh gadis itu, dia lantas memeluknya dari belakang. Membelit tubuh langsing Emilly dan meletakkan dagunya di atas pundak Emilly.
"Maafkan aku," lirihnya, sembari mengeratkan pelukkannya. Samar-samar aku bisa mendengar isak tangis lolos dari mulut Sabrina.
Aku tertegun dengan apa yang aku lihat. Lihat saja mereka, sesama jenis berpelukan selayaknya sepasang kekasih dan itu membuatku muak sekaligus tertarik dengan kejutan yang sekali lagi aku temukan.
"Oh Tuhan! Sebenarnya aku muak dengan pemandangan di depanku itu. Tapi, untuk menjalankan missiku aku rela untuk menahan perasaan menjijik ini. Semoga saja aku tahan, Tuhan." ucapku dalam hati, sembari kugeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir rasa jijik dari dalam otak cantikku ini.
Aku mendengus, kesal dengan kelakuan dua gadis itu. Mereka berpelukkan seperti besok tidak ada hari esok lagi, sampai aku yang masih berdiri di belakang mereka bisa terlupakan. Seakan aku hanyalah mahkluk yang tak kasat mata, meski pun jelas-jelas aku ada di kamar mereka.
"Ehmm!" sengaja aku berdeham untuk menunjukkan, jika aku masih ada di kamar mereka.
Kedua gadis itu serentak menoleh, kemudian berbalik menghadapku. Lalu sama-sama melepaskan pelukkan mereka.
"M-maaf, Sarah. Aku kira kau sudah tidak ada di sini," sahut Sabrina dengan kedua pipinya yang merona merah.
Aku tersenyum lantas mendekati kedua gadis itu.
"Jadi kalian mengusirku? Hm?" ucapku dengan suara yang kubuat seakan-akan tengah menggoda mereka berdua.
"Hahaha ... kami tidak berniat mengusirmu, Sarah. Jadi, jangan berpikiran seperti itu. Benar, kan, Emm?" balas Sabrina. Lalu dia menatap Emilly.
Kulihat tingkah Emilly masih kaku terhadapku, namun karena tatapan dari Sabrina, dia lalu mengangguk tanpa mau menatap ke arahku.
"Hoamm ... aku sangat mengantuk. Jadi, bolehkah aku untuk tidur siang?" tanya Emilly padaku dan Sabrina. Namun, dari ekor mataku dia hanya menanyakan itu kepada Sabrina saja.
"Oke, Emm. Kau tidurlah, biar aku yang menemani Sarah." jawab Sabrina.
Ini benar-benar aneh kulihat Emilly langsung merayap masuk ke dalam selimutnya.
***
Kami berdua memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Duduk di sana sembari membaca buku yang mungkin akan menarik perhatian kami berdua.
Oh iya, aku masih ingat. Di mana hari pertama bertemu dengan Sabrina. Sesosok gadis berambut cokelat tengah duduk di bangku perpustakaan, dengan khusuknya menatap ke dalam buku yang tengah terbuka. Pada saat itu dia terlihat tidak sedang membaca, melainkan sedang berusaha bersembunyi dari sesuatu hal. Apakah dia sedang menghindari teman sekamarnya itu? Karena yang kulihat, mereka tidak bersama-sama dalam satu ruangan. Mungkin kalian akan bertanya kenapa aku bisa menyimpulkan seperti itu? Karena aku telah memata-matai kedua gadis itu setelah kejadian terbunuhnya Mrs. Grittwen. Ya, sebut saja aku seorang penguntit. Mengikuti keduanya karena jelas aku curiga, karena pada saat kejadian pembunuhan Mrs. Grittwen itu, ke dua gadis itu lah yang pertama di tempat kejadian perkara.
Apakah kalian juga masih ingat ketika aku mengatakan bahwa temannya itu labil dan mungkin dia memiliki kepribadian ganda. Ya, karena aku hanya ingin melihat reaksinya. Dan ketika kulihat wajah gadis itu memucat, dan panjinganku ternyata berhasil, lantas kusunggingkan senyum khasku itu. Dan kuputuskan saja untuk memperingatinya agar lebih berhati-hati terhadap temannya itu. Aku terlihat licik, bukan? Tapi kalian jangan menghakimiku terlebih dahulu, karena ucapanku kepada gadis itu ada sebabnya. Ya, aku melihatnya--Emilly sedang tertawa lalu menangis di waktu bersamaan. Dan itu bukanlah suatu latihan untuk suatu pementasan drama.
"Ehm .., Sab. Apakah kau berteman dengan Emilly sudah lama?" tanyaku setelah kami duduk di salah satu bangku yang ada di dalam perpustakaan itu.
Dia menatapku, lalu tersenyum. Tapi yang menurutku aneh adalah, kerutan samar yang ada di kening gadis itu. Apakah dia mencurigaiku?
"A-aku cuma ingin tahu saja, karena kalian sangat dekat sekali." imbuhku untuk menghilangkan kecurigaannya.
"Aku menganal Emilly dari sejak pertama masuk ke sekolah ini. Kami memang cocok. Bahkan jika kami berdua bertemu dengan orang asing di jalan, mereka pasti akan berkata kalian sangat mirip seperti saudara kandung saja, padahal kami bukanlah saudara kandung. Mungkin karena kesamaan dalam hal lain yang membuat kami sama," cerita Sabrina.
Aku menyernyit, bingung dengan cerita dari Sabrina.
"Maksudmu? Jujur aku tidak paham, Sab?"
"Sebentar lagi juga kau akan tahu, Sarah. Oh iya, aku kembali ke kamarku dulu. Bye, Sarah."
Sabrina berjalan pergi meninggalkanku. Dan aku bisa menebak ke mana arah Sabrina tuju. Pasti dia kembali menuju ke kamarnya.
"Aku harus lebih menyelidiki mereka berdua." ucapku pelan lalu aku pen meninggalkan perpustakaan dan kembali ke kamarku. Karena jujur aku sangat lelah dan butuh istirahat.
-Tbc-
Maaf lama, soalnya baru nemu ide. Oh iya part ini dibagi 2, karena saya capek untuk ngetiknya. Mudah-mudahan saja idenya gak menguap. Ck, tinggal beberapa part lagi menuju klimaks a.k.a ending. Terus baca cerita ini ya walau pun geje.
Oh iya saya punya cerita baru judulnya The Hunter Nigth. Bergenre fantasi, romance, misteri, dan horor. Yang bersedia bisa berkunjung ke sana.
Trim's
MD
KAMU SEDANG MEMBACA
The Psycho Killer ( Selesai )
Mystery / Thriller"Hahaha ... katakan jika kau ingin berada di dalamku, sayang." Seseorang di depannya menggeleng ketakutan. "Kenapa kau lucu sekali? aku semakin gemas dan ingin bermain-main denganmu. Sebelum kau memasukiku atau kau yang ingin aku masuki?" ucapnya y...