Rosalie (dua puluh)

824 61 3
                                    

Suara gesekan antara gorden yang mengenai jendela karena angin terdengar jelas. Diiringi bunyi jam yang berdetik seirama. Tidak adanya suara tambahan lain lagi selain bisingnya jalanan diluar sana yang terdengar pelan. Tenang. Sangat tenang.

Tenang, seperti seorang cowok yang kini sedang terduduk diatas kasur king size-nya, terdiam. Menatap kosong selimut yang membungkus kaki panjangnya.

Itulah kiranya keadaan seorang cowok yang masih terpaku seperti itu sejak beberapa menit yang lalu.

Sang Kakak, yang ternyata beberapa menit sebelumnya sudah masuk pun kini duduk di sisi kasur. Walau sudah diisi dua orang, kasur itu tetap sama menyisakan banyak tempat.

"Aren?"

Itulah nama cowok itu.

Steya menatap adiknya sendu. Ia bingung melihat adiknya yang sudah lama seperti ini sejak pulangnya Lolyta siang tadi. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua. Yang pasti, ada suatu masalah diantara mereka.

"Aren." Steya menangkup wajah Aren menggunakan kedua telapak tangannya. Menghadapkan wajah tampan dengan dahi yang dipenuhi peluh. Mungkin ini karena panasnya akan segera membaik.

Ia menyingkirkan rambut-rambut kecil yang menutupi dahi itu dengan lembut, "Kamu kenapa, sayang?"

Inilah sosok asli Steya versi kakak. Tidak banyak bertingkah dan lebih dewasa.

Mata kosong Aren kini seperti terisi nyawa kembali. Ia menatap Kakaknya tepat di manik.

"Nggak kenapa-kenapa, Kak." Aren melepas tangkupan tangan Steya dengan tidak suka. Ia menyisir rambut yang di rapikan Steya tadi ke belakang.

Mulut Steya terbuka ingin bicara namun terhenti, rasanya bertanya kenapa lagi pada Aren sangat tidak etis. Karena mengulang hal yang sama namun jika jawabannya pun sama, juga percuma. Tapi memang betul, ia penasaran sekali, apa yang membuat adiknya menjadi seperti ini? ia terlihat...depresi?

Hening beberapa menit setelahnya. Mereka terdiam bersama. Dengan Steya sendiri yang bingung ingin bertanya apa, dan Aren yang malas berbicara, sehingga lebih memilih menengadahkan wajahnya keatas, menatap langit-langit, yang tepat diatas sana ada satu buah bintang kecil berwarna biru. Aren ingat, itu adalah hasil kerjaan Steya kecil dan dirinya yang iseng-iseng menempelkan benda kecil pemberian Tian disana. Memang anak kecil seperti mereka saat itu pasti tidak dapat menyentuh langit-langit rumah, bahkan walau hanya sekedar menaiki kasurnya. Namun, anak lincah penuh ide seperti mereka mana mungkin tidak bisa.

Steya merasa mulutnya sudah gatal ingin berbicara. Ia pun memutar bola matanya jengkel.

"Aren," katanya pada akhirnya.

Berbeda dengan tadi, Aren melihat dirinya melalui sudut mata.

"Kakak nggak tau apa yang bikin kamu jadi kayak gini, tapi semenjak Lolyta pulang sambil...menangis. Mulai dari situlah, kamu juga jadi melamun terus. Kalau memang ada masalah, selesaikan dengan baik-baik. Atau nggak, kamu bisa cerita ke Kakak."

Aren masih menatapnya. Namun kini ia sudah benar-benar menatap Steya dengan wajah setara. Namun masih juga terdiam.

"Dan juga, kalau dilihat dari perlakuan kamu ke Lolyta. Kenapa kamu seakan menganggap dia sebagai hama yang mengganggu kamu, Ren? Kamu tau? Kakak rasa dia benar-benar tulus dengan hatinya itu ke kamu. Tapi kamunya menolak dia mentah-mentah."

Steya mengusap wajahnya lelah. Ia mengerti, sangat mengerti.

"Maaf kalo selama ini Kakak menjadi Kakak yang nggak baik buat kamu. Masalah yang selama kamu hadapi hingga membuatmu seperti ini saja Kakak nggak tau. Kakak emang nggak pantes disebut Kakak. Meninggalkan adiknya disini hanya karena keinginan Ayah, sampai-sampai lupa dan akhirnya nggak tau bagaimana kabarnya."

RosalieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang