Different: Twenty One

887 46 0
                                    

Esoknya, Kirana sudah bersiap-siap dengan 4 cangkir teh di atas meja ruang tamunya. Ia duduk sembari menopang dagu, sesekali melirik jam dinding yang tergantung manis di atas pintu.

Ting tong..

Kirana beranjak dari tempat duduknya untuk membukakan pintu. Ternyata, Arkamlah yang sampai duluan.

"Hai!" sapa cowok itu ceria.

Kirana membalasnya dengan senyuman tipis.

Mereka berdua pun duduk di sofa ruang tamu. "Kemaren lo mau ngomong apa, Kir?" tanya Arkam penasaran.

Kirana membalasnya dengan senyuman misterius. "You'll see."

Tak lama, bel berdering untuk yang kedua kalinya. Arkam sedikit heran, ia pikir Kirana hanya mengajak dirinya saja. Ternyata, ada orang lain toh.

Pandangannya langsung menajam kala melihat siapa 'orang lain' yang akan ikut obrolan pagi ini. Cowok itu lagi.

"Ayo masuk, Ra." ujar Kirana. Ibra melepas sepatunya dan masuk dengan raut wajah bahagia. Namun, raut itu langsung berganti oleh tatapan dingin ketika melihat Arkam yang sudah duduk manis di sofa.

"Lo. Ngapain. Di. Sini?" tanya keduanya dingin disertai penekanan di setiap katanya.

"Jangan ribut. Gue yang ngundang lo berdua kesini." potong Kirana menengahi. Cewek itu langsung duduk di sofa tengah, sementara Arkam di sofa kanan dan Ibra di sofa kirinya.

Kontan, suasana hati Arkam maupun Ibra berubah drastis, membuat suasana ruang tamu Kirana kini sedingin kutub. Kirana menghela nafasnya lelah. Ia bingung, mengapa setiap kedua cowok itu bertemu, selalu ada perang dingin?

"Please, gue mau ngomong baik-baik sama kalian. Tapi, niat gue nggak akan bisa terlaksana kalo kaliannya gini," ucap cewek itu gusar.

Arkam meliriknya, seketika tatapannya melembut. "Oke. Sebenernya, ada apa lo pengen ngomong sama kita berdua, Kir?"

Ibra ikut menatap Kirana, menunggu penjelasan keluar dari mulut cewek itu.

"Sebentar, gue mau manggil seseorang dulu." sahut cewek itu lalu naik ke kamarnya.

Tindakan yang salah besar, karena bisa menyebabkan perang dunia ketiga terjadi di rumah itu.

Arkam kembali menatap Ibra sinis. Begitu pun sebaliknya. Namun, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara.

Tak lama kemudian, Kirana kembali dengan seorang cewek yang terlihat familier di benak Arkam maupun Ibra. Karin!

"Oke. Gue pikir sekarang semuanya udah lengkap, jadi gue pengen meluruskan semuanya aja." ucap Kirana membuka obrolan mereka di pagi itu.

Ia menaruh sebuah amplop biru di atas meja. Ya, amplop dari Keenan. Cewek itu membiarkan Arkam dan Ibra menyerap informasinya terlebih dahulu, sebelum ia berlanjut membahas hal lain.

Ibra yang pertama kali menyadari surat itu. "Ini.. kan surat dari.." ucapnya menggantung. Ia menatap Arkam yang terlihat masih bingung.

"Keenan?" sambung Arkam yang sepertinya baru mengerti. "Tunggu, gimana caranya surat ini bisa sampe ke elo, Kir?"

"Nggak tau juga, soalnya tiba-tiba udah nyampe aja di rumah gue. Kata nyokap, yang nganter langsung pergi." jawab Kirana seadanya.

"Itu... Gue yang ngirim." gumam Ibra yang tentunya masih terdengar oleh semua orang disana.

"Well, i guess you can explain all of this, Ra." ujar Kirana sembari menaikkan alisnya. Ia menatap Ibra dalam, berusaha menuntun cowok itu untuk mengatakan yang sejujurnya.

"Ya, Bra, you have to explain this." sambung Karin.

"Keenan. Dia lagi di rumah sakit sekarang, nggak sadarkan diri." Ibra memulai ceritanya, dengan tatapan menerawang dan nada yang rendah.

Kirana membulatkan matanya tidak percaya. Bagaimana bisa?

"Ya. Dan dia nggak sadarkan diri itu karena kita." timpal Arkam tak kalah mirisnya. Ia mengusap wajahnya pelan. Sementara Kirana dan Karin hanya diam dan menyimak.

"Asal lo tau Kir, kita berdua perang dingin gini bukan tanpa alesan. Ada kenangan tragis yang ngebuat kita saling menyalahkan diri sendiri," Ibra menatap Kirana tepat di manik mata. Saat itu juga, Kirana merasakan rasa bersalah yang Ibra rasakan. Cowok itu bagaikan mengirim perasaannya pada Kirana melalui tatapan mata itu.

"Tunggu.. Maksud kalian berdua apa? Emang Keenan kenapa? Di surat itu dia bilang kalo dia mau ikut KBN 2015! Kenapa tiba-tiba dia malah di rumah sakit?" tanya Karin bertubi-tubi.

"Keenan emang ikut KBN kak. Dan, dia balapan dengan sangat baik." jawab Arkam. Dia berdeham sebentar sebelum melanjutkan, "Tapi, kebaikannya itu malah balik menyerang dia. Dia... Kecelakaan."

"Dan dia kecelakaan karena nolongin kita."

Kirana maupun Karin menutup mulutnya tidak percaya. Terkejut? Tentu. Ibra dan Arkam tidak menyalahkan kedua cewek itu, sebab memang wajar bagi mereka untuk bereaksi seperti itu.

Perasaan bersalah kembali menyelimuti hati Ibra maupun Arkam. Rasa bersalah itu kian bertambah ketika Kirana bertanya dengan pelan, "Kenapa selama ini lo berdua nggak ngasih tau gue? Kenapa selama ini lo malah nyembunyiin hal ini dari gue, sementara lo berdua tau banget kalo gue udah nyari dia kemana-mana? Kenapa, Ra? Kenapa, Kam?"

Baik Arkam maupun Ibra langsung bungkam. Mereka ingin menjawab, namun tau Kirana tidak akan mendengarkannya. Maka, mereka memilih diam. Membiarkan cewek itu meluapkan amarahnya.

"Ternyata lo boong Ra selama ini! Lo bilang, 6 bulan kemarin lo touring. Nyatanya nggak, kan? Lo ikut KBN!" seru Kirana dengan mata berkaca-kaca. Ia menatap Ibra dengan nanar karena terhalang butiran bening yang sebentar lagi turun.

Kini, tatapan Kirana beralih pada Arkam. "Lo juga, Kam. Lo membuat gue tenggelam dalam perasaan bersalah yang nggak ada ujungnya. Lo bikin gue bingung, lo bikin gue mengira-ngira sesuatu yang sebenernya nggak terjadi. Dan lo, lo malah memilih mengabaikannya dan ikut KBN!"

Terdapat jeda beberapa menit sebelum Kirana melanjutkan perkataannya.

"Dan lo.. Lo berdua, udah bikin Keenan gue dan kak Karin celaka."

Keenan gue dan kak Karin.

Keenan gue.

Setelah mengucapkan hal itu, Kirana keluar meninggalkan Arkam dan Ibra dalam rasa bersalah yang tak berujung.

[]

11 Februari 2016

Gue miris sendiri ngeliat part ini :(
Ohiya gaeess mungkin setelah ini gue bakal sering late update karena kesibukan kelas 9 yang nggak bisa diduain:") yang kelas 6/9/12 i feel you kok!

So, gue harap kalian suka sama part ini!

Luf,
Key

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang