Satu

191 22 4
                                    

Vote sebelum baca!

***

Hari pertama usai liburan yang panjang selama dua minggu. Kayla mengawali hari barunya dengan semangat, memulai semester ini dengan hal-hal yang lebih baik dan positif dari semester sebelumnya. Hari pertama masuk, namun sejak tadi Kayla tidak juga melihat Nathan. Cowok yang kini duduk dibangku kelas XI yang sekelas dengannya itu juga tidak datang untuk sekedar menjemputnya, seolah menghilang tanpa jejak, padahal baru kemarin mereka pergi bersama mengakhiri liburan. Tapi, malamnya Nathan tiba-tiba lost-contact begitu saja.

"Pagi Kay," Fiona -teman sebangkunya- datang menyapa, menemani jalannya. "Nathan mana? Tumben nggak bareng lo?"

Kayla menghela, ditanya begitu membuat hatinya semakin gelisah. dia hanya takut ini ada hubungannya dengan penyakit Nathan. Meskipun Kayla tidak pernah tahu pasti apa penyakitnya, tapi Kayla bisa merasakan sesakit apa Nathan melawan penyakitnya itu. "Gue juga nggak tau Fi. Dari semalem Nathan nggak bisa dihubungi."

Fiona menatap manik mata kecoklatan milik Kayla -manik yang sama dengan milik Nathan- dia dapat merasakan kegelisahan Kayla saat ini. Fiona tahu betul perasaan Kayla pada Nathan, yang juga dibalas dengan perasaan yang sama oleh cowok itu. "Nggak usah khawatir Kay," dia mengusap lembut bahu Kayla. "Siapa tau semalem hape Nathan mati, jadi nggak bisa dihubungi."

Kayla diam tak menjawab, hanya memberi sebuah anggukan kecil lalu mereka kembali melanjutkan langkah menuju kelas. Kayla tidak henti-hentinya memikirkan Nathan, berkali-kali diliriknya arloji yang melingkar ditangan. Saat bel masuk sebentar lagi berbunyi pun Nathan belum juga datang. Kayla paham betul bagaimana sifat Nathan; dalam hidupnya tidak ada kata terlambat untuk hal apapun itu, baginya sebuah keterlambatan hanya akan berujung petaka.

"Tenang Kay, Nathan nggak bakal kenapa-napa. Positive thingking." Fiona yang melihat Kayla sejak tadi sibuk memain-mainkan jari jemarinya, serta melirik arlojinya, mengerti kekhawatiran Kayla. Dan hanya dibalas anggukan kecil dari cewek itu.

Waktu berjalan cepat. Bahkan, saat bel masuk usai berbunyi pun Nathan tidak juga datang. Kalau sudah begini, artinya Nathan tidak masuk sekolah hari ini. Bu Tina yang mengajar Bahasa indonesia dikelasnya juga sudah masuk. Kayla menghela nafas berat. Sekolah tanpa Nathan itu seperti kuburan, sepi.

"Pagi anak-anak," Sapa nya semangat.

"Pagi Buuuu ..." Jawab para murid di kelas XI-IPA-3 dengan berbagai macam gaya; dari mulai yang semangat sampai yang malas-malasan, bahkan ada yang tidak memperdulikan.

Bu Tina baru mengambil posisi duduk dan mulai membuka buku absen pegangannya, seperti kebanyakan guru lain. "Siapa yang tidak masuk hari ini?"

"Andre sakit sama Nathan alpa, Bu." Jawab Rita selaku sekretaris kelas pendamping Andre si ketua kelas.

Mata Bu Tina yang dilapisi kacamata menatap Rita sebentar, sebelum akhirnya jatuh pada Kayla. Satu-satunya cewek yang paling dekat dengan Nathan. "Kayla, kamu tau kenapa Nathan alpa hari ini?"

Sontak Kayla mendongak kaget, dia buru-buru menggeleng pelan menjawab pertanyaan Bu Tina. "Ng, saya nggak tau Bu."

Selanjutnya Bu Tina tidak lagi bertanya, hanya menyuruh murid-murid untuk membuka buku LKS halaman 3 dan detik selanjutnya mulai terdengar suara khasnya menuturkan serentetan kata yang dijamin bikin pusing, maka dari itulah Kayla memilih sibuk dengan fikirannya ketimbang mendengarkan penjelasan guru itu.

***

Waktu menunjukan pukul 09.00. Begitu cepat berlalu. Nathan menatap seseorang didepannya dengan tajam, nafasnya memburu, terlihat tengah menahan amarah yang memuncak.

"Sekarang puas?! Puas lo ngeliat gue ditampar Papa?!" Dia mendecih, berjalan mendekat menuju seorang cowok didepan nya. "Berhenti bersandiwara! Gue tau lo samanya kayak Papa, lo cuma bisa menindas tanpa tau apa yang terjadi!"

Cowok didepan Nathan menggeleng frustasi, tatapannya menampilkan sorot sedih yang mendalam. "Lo salah Nath, gue nggak mungkin-"

"Bulshit! Gue nggak butuh kata-kata lo!" Nathan memotong cepat ucapan cowok didepannya, dia menatap semakin tajam. "Simpan omong kosong lo! Kalau akhirnya kenyataan bilang cuma lo yang dianggap di keluarga ini!" Katanya berlalu meninggalkan rumah besar itu.

Sebelum sempat cowok itu mengejarnya, Nathan sudah lebih dulu menjalankan motornya menjauhi pekarangan luas rumah itu, rumah yang hanya menjadi saksi bisu penderitaannya selama ini. Mengingat kata-katanya tadi, membuat Nathan merasa sesak di dadanya, yang kembali memunculkan pertanyaan-pertanyaan bodoh di benaknya. Juga perasaan iri yang telah lama bersimpuh didalam sana.

Nathan melajukan motornya menuju danau tempatnya biasa menghabiskan waktu, entah itu sendiri ataupun bersama Kayla. Teringat nama itu, membuatnya berfikir, Kayla pasti mengkhawatirkannya, karna sejak semalam dia tidak memberi kabar. Ditambah absennya hari ini di sekolah.

Nathan kembali menyalakan ponselnya, bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi. Pengingat sialan itu lagi! Nathan mendesis malas, dia bangkit kemudian dilangkahkannya kedua kaki itu kembali ke motor lalu melaju meninggalkan taman.

***

"Iya Kay, gue baik-baik aja. lo nggak usah khawatir ya."

Kayla menghela nafas beratnya, guna mengurangi perasaan khawatir yang sejak tadi menyelimuti. Meskipun Nathan bilang dia baik-baik saja, Kayla tahu suara Nathan disebrang sana jelas mengisyaratkan cowok itu tidak sedang baik-baik saja. Tapi Kayla bisa apa? Bertahun-tahun dia mengenal Nathan, membuatnya paham bagaimana sifat Nathan. Salah satunya; tidak suka diberi banyak pertanyaan.

Di liriknya Fiona yang tengah asik dengan sepiring siomay didepannya, sebelum menjawab ucapan Nathan. "Syukur deh kalau lo baik. Yaudah ya Nath? Gue tutup telponnya?"

Sejenak tidak ada jawaban dari Nathan, dan hanya terdengar suara krasak-krusuk dari sebrang sana. "Nath? Lo masih disitu kan?"

"Iya ... see you, Kay."

Tut Tut Tut!

Sambungan terputus, meninggalkan Kayla yang masih diam membisu dengan ponsel ditelinga. Suara Nathan barusan jelas tertahan, bisa diartikan cowok itu tengah menahan sakit. Nathan juga aneh, tidak biasanya memutus telpon duluan.

"Kay!" Seru Fiona yang melihat Kayla diam bertahan dalam posisinya.

Kayla hanya memberi respon dengan helaan nafas, sebelum akhirnya menurunkan ponsel dari telinga, dan meletakkannya asal diatas meja. Tangannya beralih memain-mainkan malas ujung sedotan minumannya, dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"Lo kenapa sih?" Tanya Fiona menyadari tidak ada tanda-tanda Kayla akan berucap. "biasanya kalau habis telpon Nathan, lo senyam-senyum nggak jelas."

Hanya helaan nafas penuh tanda tanya yang Kayla berikan, selebihnya cewek itu hanya mengangkat malas kedua bahunya, lalu berdiri. "Gue ke kelas duluan ya?" Dia melirik sejenak arloji berwarna coklat, berlogo inisial namanya dengan Nathan, kado ulang tahunnya yang ke 15 yang khusus Nathan hadiahkan padanya. "Udah mau bel juga."

Sampai di koridor dekat lapangan basket, Kayla meringis mengingat Nathan. Ingatannya kembali terlempar ke masa dua tahun silam, saat pertama kalinya dia melihat hidung Nathan berdarah di UKS usai cowok itu latihan. Nathan juga selalu beralibi kalau penyakitnya hanya penyakit biasa yang lumrah terjadi pada beberapa orang.

Kenapa harus bohong sih, Nath?

***

To be continued!

Iye, gue tau Nathan sakit, tapi emang semua orang sakit itu ujung-ujungnya bakal langsung mati ya? Kan gak juga.

Just A MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang