2. Orang Baru

32.2K 2.7K 122
                                    

Cairan hitam pekat yang tinggal separo dan tengah mengepulkan asap di atasnya itu menjadi pusat perhatian Karina. Satu jam lebih ia berada di depan minimarket ini, dan cangkir di depannya adalah cangkir ketiga sejak ia berada di sini. Karina memejamkan mata. Menyandarkan seluruh punggung dan lehernya seraya menghembuskan asap rokoknya di udara.

Jika diingat-ingat, kebiasaan merokoknya mulai ada tak lama sejak ia berpisah dengan mantan suaminya. Tiap kali Karina merasa resah dan bingung harus berbuat apa, rokok adalah penolongnya di saat ia harus berpikir jernih untuk ke melangkah ke depannya. Mungkin akan terdengar seperti alibi murahan bagi orang-orang, namun Karina bersyukur keterpurukannya di masa lalu tidak menjerumuskannya ke dalam lembah hitam yang terlalu dalam.

Helaan nafas berat Karina kembali keluar di udara pagi kota dingin itu. Ia memejamkan mata, mencoba menghalau apapun yang berusaha mengganggu ketenangannya. Sungguh, tangisan bayi itu lagi-lagi terngiang kuat di otaknya. Karina tak tahu ia harus marah atau merasa iba. Otaknya memaksanya kuat untuk berjalan ke arah mobil dan meninggalkan kota ini. Namun batinnya merasa terpanggil untuk menenangkan tangisan bayi tadi.

Beginikah rasanya seorang Ibu jika anaknya menangis?

Mata Karina terbuka. Bola mata wanita itu bergerak kesana kemari seiring kebimbangannya semakin menjadi.

.

.

Tapi dia bukan anakku. Dia sama sekali bukan anakku.

.

.

.

.

Sepasang alis Reza menaut, sorot matanya terlihat sendu melihat pemandangan di depannya. Ia merasa iba tentu saja. Bagaimana tidak? Bayi yang berada di depannya kali ini terus saja menangis dan bersengguk hebat walaupun banyak perawat yang turun menanganinya sejak lebih dari sejam yang lalu. Bayi tersebut terus saja meronta setiap kali ia melihat siapa yang menggendongnya. Mungkin bayi tersebut mencari keberadaan ibunya.

"Pak Reza, bagaimana kalau kita suntikkan obat penenang?"

Reza terpaku, sedikit lambat untuk merespon ucapan salah satu perawat di depannya.

"Bayi ini terus menangis, Pak," sambung perawat tersebut. "Pemeriksaan tidak menunjukkan adanya luka di tubuhnya. Kami takut terjadi apa-apa kalau bayi ini terus menangis."

Perlahan Reza menegakkan tubuhnya dari dinding samping pintu. Bibir pria itu terbuka, namun tak langsung mengeluarkan suara. "Kalau... kalau itu memang yang terbaik-"

"Jangan dulu!"

Semua orang termasuk Reza menoleh ke arah sumber suara. Nampak di sana wanita berambut hitam panjang dan berkacamata berdiri tepat di depan pintu dengan wajah yang terlihat ragu.

"Biar saya coba menenangkannya sebentar."

Reza tahu Karina ragu dengan apa yang diucapkan perempuan itu sendiri. Namun di sisi lain, Reza menangkap adanya rasa peduli yang memancar begitu besar di sepasang mata kecokelatan Karina.

"Silakan, Bu," ucap salah satu perawat yang menggendong bayi tersebut seraya mendekati Karina.

Karina pun turut mendekat walaupun langkahnya tidak lebih pelan dari nenek-nenek usia tujuh puluh tahun. Tubuh perempuan itu terlihat gemetar, apalagi ketika tangannya terulur untuk menerima tubuh bayi yang beberapa saat lalu ia hindari.

Bayi tersebut masih menangis walaupun ia sudah berpindah gendongan. Namun perlahan, mata bayi itu terbuka sehingga menampilkan mata hitam jernih yang mengingatkan Karina dengan mata mantan suaminya. Tangis bayi itu pun perlahan berubah pelan walaupun sengguknya masih sekuat tadi. Karina mencoba untuk menggerakkan kedua tangannya menimang bayi tersebut. Walaupun kaku, Karina terus saja mengayun-ayunkan pelan bayi yang berada di gendongannya, hingga sepasang mata bayi tersebut kembali menutup sempurna.

GerimisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang