11. Rasa Asing

17.1K 1.9K 51
                                    

"Tidak perlu khawatir, Bu. Ini adalah reaksi biasa untuk bayi yang sedang tumbuh gigi."

Ketakutan Karina yang belum sepenuhnya hilang seakan-akan menghalangi pemahamannya mendengar penjelasan dokter di depannya. "Tapi panasnya tinggi, Dok."

Dokter perempuan di depan Karina tersenyum maklum. "Itu karena peradangan gigi yang akan tumbuh di gusinya, Bu. Masih normal kok."

Berat hati Karina mengangguk. Ditatapnya wajah Bias yang tertidur di gendongannya. Kedua mata bayi tampan itu sedikit membengkak.

"Ini resep obat untuk adek Bias," ucap dokter tersebut seraya menyerahkan selembar kertas. "Kalau sampai obat ini habis panas Bias belum turun, segera kontrol kondisinya kesini ya, Bu."

Lagi-lagi Karina mengangguk. "Terima kasih ya, Dok. Maaf atas kehebohan saya tadi."

"Tak apa, Bu. Itu hal wajar, terutama pada Ibu yang baru memiliki anak pertama."

Sebisa mungkin Karina menormalkan senyumnya. Ia pun berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Kalau masih rewel, bisa gantian dengan Papanya kalau mau menidurkan Bias, Bu." Dokter tersebut menyambut uluran tangan Karina. "Rewelnya anak yang tumbuh gigi biasanya bikin orang tuanya capek."

"Iya, Dok. Terimakasih."

"Semoga cepat sembuh."

.

.

"... bisa gantian dengan Papanya..."

.

.

Karina memutar matanya. Yang benar saja?

.

.

.

Dari ruang tamu, sepasang mata Karina memperhatikan Bias yang sedang tertidur di gendongan Yati. Setelah menyerah untuk membuat rengekkan bayi itu terhenti sejam yang lalu, hanya inilah yang bisa dilakukan Karina. Mengawasi Bias dari jarak sejauh ini dan dengan tingkat kelelahan tubuh dan pikiran seperti ini.

Yati berjalan dan masuk ke dalam kamar. Tak lama, perempuan itu keluar dan duduk tepat di sebelah Karina.

"Terima kasih ya, Mbak Yati."

Senyum tulus Yati terukir. "Sama-sama, Mbak. Saya kasihan sama Mbak Karina."

Karina menutup kedua matanya.

"Dulu saya sih ada Ibu mertua, Mbak. Makanya lihat Mbak Karina pontang-panting sendiri seperti ini hati saya sedikit ngilu."

Mata Karina terbuka, dan menampilkan senyum kecilnya. "Seharusnya saya nggak forsir tubuh saya sampai kelelahan gini, Mbak. Saya terlalu panik beberapa hari ini."

"Mbak Karina sayang banget sama Bias, ya?"

"Habis siapa lagi yang mau sayangin Bias, Mbak?"

Kening Yati berkerut. Perempuan itu lalu menunduk. "Papanya belum sadar ya, Mbak?" tanya Yati hati-hati.

Karina menggelengkan kepalanya lemah. "Terakhir saya ke sana belum ada perkembangan. Nggak tahu juga kalau sekarang."

"Mas mas polisi itu nggak ngabarin, Mbak?"

Sejenak Karina tercenung sendiri. Ah, sudah berapa lama ia kembali tak berhubungan dengan Reza?

"Sudah lama kita nggak saling kontak, Mbak," jawab Karina setelah sempat terdiam.

Yati tak bersuara, namun mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.

"Ghofar dulu waktu tumbuh gigi kayak Bias nggak, Mbak?"

GerimisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang