XII. Apa yang Terjadi?

217 12 1
                                    

[Zico's P.O.V]

Sudah dua minggu sejak kejadian nekad nan manis itu terjadi. Sudah dua minggu pula Emi tak terlihat batang hidungnya.

Apa sakitnya semakin parah?

Jika aku menghubunginya, ia hanya berkata kalau ia masih butuh istirahat. Aku hendak menjenguknya, namun ia berkata jangan. Status kami sudah lebih dari sekedar teman, tapi dia tak menunjukkan sesuatu yang lebih sama sekali. Terakhir kali aku meneleponnya adalah dua hari yang lalu. Aku tidak mau mengganggu istirahatnya, meskipun keinginanku untuk sekadar mendengar suaranya jauh lebih besar.

Atau dia malu bertemu denganku?
Atau dia malu memiliki kekasih sepertiku?

"Selamat pagi kelas XI Seni," seru Pak Awan membuyarkan lamunanku.

"Pagi, Pak," sahut seluruh siswa.

"Hari ini kita kedatangan murid baru."

Murid baru di tengah semester satu?

"Nak, ayo masuk," panggil wali kelas kami pada seseorang yang berdiri terhalang pintu. Hanya terlihat sedikit celana abu-abunya yang berkibar lembut karena angin pagi.

Jelas, laki-laki.

Sepatu putihnya masuk kelas terlebih dahulu, disusul wajahnya. Ia terlihat begitu lesu dan tak bertenaga.

Ia berjalan ke depan papan tulis lalu menghadapkan diri pada seisi kelas. Saat ia mengangkat wajahnya yang sedari tadi ia tekuk ke bawah, terdengar pekikan kecil dan desahan kagum dari murid-murid perempuan.

"Silakan perkenalkan dirimu," sahut Pak Awan yang sedang bersandar pada daun pintu sembari bersedekap dan tersenyum ramah.

Murid baru itu menyapu pandangan mengitari kelas, lalu menghembuskan napas keras.

"Jonathan Aaron. Kelas XI Seni."

Suaranya tergolong dalam jenis bariton.

Suara labil.

Terlihat bapak guru dengan wajah tampan itu menaikkan sebelah alisnya lalu tersenyum miring.

"Hanya itu? Apa kamu yakin?"

Anak baru itu hanya terdiam menatap lantai biru yang tetap tenang meskipun telah diinjak-injak. Sepatunya mematuk lantai dengan irama bebas.

"Panggil Aaron atau Ron, jangan yang lain. Dari SMA Agape, pindah ke sini karena kemauan orang tua. Suka IPA nggak suka Seni. Sekian." Ia mengakhiri kalimatnya dengan membungkukan badan sebagai tanda hormat.

Seseorang di ujung kelas mengangkat tangannya.

"Ya, silakan," tunjuk Pak Awan pada anak berkacamata dengan rambut yang model potongannya seperti jamur.

"Kalau nggak suka seni, kenapa masuk jurusan seni?"

Aaron memandang tajam anak berkacamata itu, kemudian menghadap ke arah langit-langit kelas berwarna biru kehijauan yang sedikit mengelupas, lalu menatap lantai. Ia mendesah keras kemudian menatap anak yang bertanya padanya tadi dengan tatapan intens dan menerawang.

"Orang tua," jawabnya tegas, hampir terdengar marah.

Hampir semua murid kelas membentuk huruf O pada bibir mereka, termasuk aku.

Ia menatapku yang duduk di barisan belakangㅡposisi duduk siswa selalu bergeser sesuai kemauan wali kelas kami dan minggu ini aku berakhir di sudut belakang kelasㅡdengan wajah datar. Aku tersenyum padanya, namun ia membuang muka.

Astaga, baru juga masuk sudah cari musuh.

"Zico, sebelahmu seharusnya siapa?" tanya Pak Awan padaku yang sedang memutar bolpoin dengan jari telunjuk dan jari tengah.

[hiatus] KONEITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang