IX. Kejutan Tak Ringan

229 18 3
                                    

TOK TOK TOK

"Permisi. Apa ada orang di dalam?"

Itu suara Zico.

.
.
.
.
.

Aku bergerak perlahan menuruni tangga. Kepalaku masih terasa sakit walau tak separah kemarin.

Aku menekan interkom dan berbicara pada orang yang telah mengetuk pintu.

"Ada. Maaf ini siapa ya?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Emi! Ini Zico."

Tepat.

Aku membuka pintu dan langsung disambut senyum lebar darinya.

Mengapa ia begitu bahagia?

"Kenapa cengar-cengir gitu?" tanyaku heran pada Zico yang masih berdiri di ambang pintu.

Ia membawa sebuah kantong plastik putih dan dua buah buku tulis di tangannya.

"Hehehe, nggak apa-apa. Lagi seneng aja," jawabnya tambah sumringah. Kedua matanya semakin berbinar.

"Mau di situ terus? Ya udah." Aku segera menutup pintu. Zico masih berada di luar.

"Eㅡeh, iya iya aku masuk." Zico mendengus sambil berjalan masuk.

"Oh iya, ini catetan pelajaran hari ini. Tenang aja, nggak banyak kok."

"Ah, iya, makasih. Maaf ngerepotin."

Zico tersenyum tipis, "Nggak ngerepotin sama sekali."

Ia menyapu pandang ke sekeliling ruang tamu kemudian berjalan mendekati sebuah pigura.

"Em, ini Mamamu?" tanyanya sambil menunjuk sebuah foto.

"He-eh," jawabku sekenanya sambil berlalu ke dapur, "Mau minum apa, Zic? Duduk dulu di sofa ya."

"Apa aja, Em," balasnya sambil meletakkan tubuhnya di sofa panjang berwarna peach.

"Aku bikinin es teh, ya."

Ia hanya mengangguk. Aku tak melihatnya lagi saat memasuki dapur.

Sayup-sayup kudengar senandung dari ruang tamu, yang kemudian berubah menjadi sebuah nyanyian.
.
.

Kau adalah yang terindah,

yang membuat hatiku tenang.

Dicintai kamu, takkan pernah ragu.

Sebab kau t'rima s'gala kurangku.
.
.

Kata per kata dari lagu itu menggema ke setiap sudut ruangan. Aku tak tahu jika suaranya semerdu itu. Berat, namun tidak dibuat-buat. Bisa mencapai nada rendah dan tinggi dengan mudah dan tepat.

Aku akan lebih bersemangat sekolah jika bunyi alarm setiap pagiku adalah suara itu.

Entah kenapa pipiku terasa memanas. Jangan-jangan sudah semerah tomat? Ah! Bagaimana dengan es tehnya?

Aku menghirup napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Aku membawa dua gelas es teh di atas nampan putih menuju ruang tamu.

Pandangan Zico mengarah pada satu titik di tembok bagian atas. Kepalanya yang setengah menengadah membuat garis rahangnya semakin jelas terlihat dan menunjukkan sisi maskulinnya. Ia tersenyum, sangat manis.

Aku mengikuti arah pandangnya dan tibalah aku di sebuah foto;

Fotoku.

.
.
.
.
.

Sekarang kami duduk bersisian di sofa panjang. Sejak aku mengantar minuman, kami berdua hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Em, udah sehat?" tanya Zico memecah keheningan di antara kami.

"Belum sembuh total sih, tapi hari ini udah lebih baik. Makasih, ya."

"Makasih? Buat apa?"

Ia menengok ke arahku dan mata kami langsung bertemu.

Aku terkejut dan langsung mengubah pandangan ke arah gelas es teh yang berkeringat.

"Aㅡanu, buat kemaren sama hari ini."

"Ah, iya ya kemaren. Hehe, sama-sama," jawabnya sambil mengaduk-aduk isi tas sekolahnya.

Ya, hari ini dia mengunjungiku. Untuk pertama kalinya seorang teman datang ke rumahku.

Aku, sangat senang.

"Coba diliat dulu."

Wajahku mulai menghangat saat Zico tersenyum sembari menyerahkan beberapa buku catatan padaku. Mataku berbinar saat melihat goresan tinta biru yang melekat pada lembaran buku tulis.

Tulisannya bagus.

"Em? Kok mukamu merah? Masih demam?" Zico mendekatkan wajahnya padaku dan memegang dahiku lembut. Ia juga menyisihkan rambut-rambut kecil yang tak tergapai ikat rambut dengan telapak tangannya.

Bukan demam, bodoh. Ini karena kamu.

Bukannya bertambah adem, justru sekujur tubuhku menjadi panas.

"Eㅡenggak, Zic. Ini efek karena mau sembuh mungkin?" elakku sambil merundukkan kepala lebih dalam lagi.

"Tapi kamu merah banget, Em. Ayo aku anter ke kamar."

"Gaㅡgak usah. Aku masih pengen di sini."

"Kok terbata gitu? Lidahnya sakit?" Tangannya yang sedang memegang dahiku berpindah dengan cepat ke daguku.

Ia mengangkat wajahku dan langsung berhadapan dengan mata gelapnya yang indah.

Kedua netra itu seakan menarik jiwaku ke dalamnya.

Saat mata kami bertemu, ia terdiam. Zico memandangku dengan intens namun hangat. Aku tidak tahu itu tatapan mengancam atau apa. Yang jelas, aku sudah tenggelam di dalamnya.

"ZiㅡZico? Bㅡbisa tolong lepas?"

Zico terkejut, tapi tidak melepaskan tangannya dariku. Ia hanya sedikit menjauhkan wajahnya dari hadapanku dan menghembuskan napas.

Ia masih memandangku, kemudian tangannya berpindah ke jari-jariku yang sedang duduk manis di sofa.

"Emilia Reinardineㅡ"

Ia menyebut nama asliku.

Jelas,
Ayah.

"Emilia Rein aja, Zico. Jangan membuka nama itu lagi." Aku menggeleng lembut sambil merunduk, lagi.

"Jangan merunduk. Kamu, lihat aku."

Perlahan aku mengangkat wajahku untuk memandangnya dan aku bertemu dengan mata gelap itu lagi.

Jantungku berakrobat dengan indah di dalam sana.

"Emi, kita memang baru bertemu lagi setelah sekian lama. Tapi, perasaan iniㅡ nggak pernah hilang sejak dulu." Zico mengarahkan tangan kanannya ke dada kirinya.

"Aku nggak mau sembunyiin perasaan ini lebih lama lagi." Ia menghembuskan napas sambil menutup matanya beberapa detik dan menggenggam satu tanganku erat.

Perasaan? Perasaan apa?

"Akuㅡ aku suka sama kamu."

Mataku terbelalak. Aku hendak membuka bibir ketika ia berkata lagi.

"Bukan sebagai teman. Tapi lebih dari itu. Bertahun-tahun aku menjadi seorang pengecut dan sekarang aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang berharga."

Aku menutup mulutku dengan sebelah tangan yang tidak ia genggam.

Ia tersenyum, sangat manis.

"Emilia, bolehkah aku menjagamu?"

Oh, Tuhan. Andai aku punya jantung cadangan.

.
.
.
.
.

[hiatus] KONEITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang