Asap

302 10 2
                                    

Hujan masih setia membasahi. Rintiknya lembut menyapu halaman sekolah. Aroma khas tanah basah menyeruak. Bulir nitrogen berterbangan menyulap rerumputan menjadi lebih hijau.

Senja masih setia menunggu. Pipinya basah dan lembab. Sedari tadi ia berdiri satu langkah dari naungan atap lobby sekolahnya. Masih terlihat jelas bekas air matanya. Namun bibirnya tersenyum merekah. Hujan, ia bersyukur Tuhan ikut sedih meliatnya terluka, Tuhan peduli masalahnya.

"Hujan takkan membunuhmu Senja-" suara itu berasal dari belakangnya, dari dalam sekolah. Sosoknya mendekat duduk di tangga lobby, yang lebih tepat disebut anjakan itu. "-yang ada kamu sakit. Udah gak usah aneh-aneh, besok juga dapet cowok baru"

Senja menoleh. Pandhu, suara itu berasal dari Pandhu. Pemuda itu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Ia pemuda yang baik lakunya, seingat Senja. Setidaknya untuk setahun yang lalu.

Seakan pemuda itu mengerti pikiran Senja. Tak lama, ia berbicara "Yang kamu lihat baik belum tentu memang baik, yang kamu liat buruk belum tentu memang buruk. Semua butuh alasan" kalimatnya terhambat asap yang keluar dari mulutnya. "Ada maksud dari tiap tindakan yang kita ambil. Engga semua tepat memang kaya Adam . ."

Tulang - tulangnya layu ketika nama itu disebut. Senja berjalan gontai mendekat, duduk di samping Pandhu. "Memang salahku-" suaranya tegas meski terdengar pilu."-salahku, engga seharusnya aku sayang sama dia"

Pandhu merasa bersalah menyebut nama terlarang itu. "Care to share? Engga harus sekarang Ja. Tapi aku siap jadi pendengar yang baik"

"Mau apalagi yang aku cerita-in sama kamu? You've been know everything, you know he is my first" ia tertawa. Tawa yang penuh kesakitan.

Hening mengisi pikiran Senja. Ia tak ingin terlarut dalam kesedihannya. Setidaknya sampai ia pulang ke rumah.

"Ndhu, kamu engga pulang?" Pertanyaan Senja menyesakan batinnya. Pulang, pulang hanya untuk orang yang memiliki rumah. Rumah, bukan sekedar ongokan beton pelindung dari panas mentari, dingin malam. Keluarga, tapi ia sendirian.

"Hey! Aku duluan ya" Senja menepuk pundak Pandhu. Berdiri, mengenakan sweaternya. Menyematkan headset di telinganya, tanpa lagu yang dimainkan.

"Naik Trans, huh?" Senja hanya mengangguk. "Aku anter pulang, aku bawa motor" Pandhu berdiri, mengenakan jaket Arsenal. Berjalan mendahului Senja. Gadis itu mengikuti kemana Pandhu menuntunnya. Pandhu mengambil asal helm di pos satpam, mengenakannya pada Senja.

»---«

Motor Pandhu berjalan santai menerjang udara lembab sehabis hujan.

"rumahmu dimana?" Senja pun memberitaunya. Letaknya berada di utara kota sangat dekat dengan lereng merapi. Di suatu kompleks villa ternama.

"papamu engga masalah-kan aku anter pake motor butut?"

"yang masalah itu kamu siap gak ketemu papaku!" nada bicara Senja penuh canda. Tapi sama sekali tidak sebecanda itu bagi Pandhu.

"kamu engga usah ketemu papaku Ndhu. Cukup sampe depan rumah atau kalau masih engga nyaman depan kompleks juga engga apa!"

"let me be a gentelman. Nanti apa kata papamu ternyata tau anaknya dianter pulang tapi turunnya di pinggir jalan"

"you are not supposed to do that kinda stuff! Kamu pasti sayang banget sama mama-mu! She will proud of you" tangan Senja menyentuh pundak Pandhu tanpa disadarinya.

"she passed away sixt month ago"

"oh . . I'm so sorry" Senja menyesal dengan ucapannya.

"its not your fault. Anyway kok bisa tau kamu aku sayang banget sama mamaku?"

"karena cowok yang berusaha jadi gentlemen walau bukan sama ceweknya. Bisa dipastikan dia punya hubungan baik sama sosok ibunya"

Sepanjang perjalanan itu Pandhu mendengarkan semua fakta-fakta psikologi yang Senja ceritakan. Ia ingin membicarakan tentang Adam tapi diurungkannya niat itu. Melihat respon Senja yang bahkan mengganti topik ketika membicarakan dirinya.

Rumah itu besar, namun tak nampak adanya kehidupan di dalamnya. Senja mencoba membuka pintu besar itu namun terkunci. Ia sama sekali tak membawa satu kunci pun. Mereka tak memiliki pembantu rumah tangga. Sehingga dapat dipastikan tak ada orang di rumah.

Untungnya pintu belakang tak dikunci. Senja masuk membuka pintu utama dari dalam. Mempersilahkan Pandhu mampir namun ditolaknya. Senja pun kembali dalam kesunyiannya. Menjadi dirinya sendiri. Ketika tak ada mata yang melihat.

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang