Celah

106 5 0
                                    

Pandhu menyusuri tiap koridor sekolahnya mencari Senja. Perasaan bersalah menyelimuti pemuda itu--kejadian itu tak seharusnya terjadi. Ini semua karna ulahnya. Sedari awal ia memeringatkan dirinya sendiri, kepeduliannya hanya menambah masalah yang ada.

Senja duduk di kursi Pimpinan Redaksi, tatapannya kosong melihat ke depan. "Ada yang bisa saya bantu?" katanya, suaranya bergetar.

Pandhu semakin terpaku di ambang pintu ruangan kecil itu. Apa yang bisa ia bantu pikirnya. Namun tidak, ia berjalan mendekati gadis itu. Langkah demi langkahnya tanpa ragu.

Pandhu berhenti tepat di depan meja itu. Kepala Senja masih tertunduk. Ia pun mulai membuka kancing mansetnya, mengulungnya sebatas siku.

Wajah Senja kini menatap lengan Pandhu. "tekuk aja lengan bajunya Senja! Kotor" seraya ia menggenggam tangan gadis itu. Namun cepat Senja menarik lagi tangannya. Mendekapnya menekuk rapi lengan bajunya yang kotor.

Pandhu meraihnya lagi menyusuri luka goresan baru di pergelangan tangan Senja. Mata mereka kini menyatu. Seakan mereka telah menemukan bahasa baru mereka sendiri.

>>-----<<

Terik mentari di kota itu begitu menyengat. Terlebih untuk Pandhu dan Senja. Kini langkahnya menyusuri tiap kerumunan deru arus lautan manusia.
Mencari nafkah, kini langkah kaki Senja dituntun Pandhu melewati gang kecil. Alurnya tak dapat ia ingat, sampai kaki Pandhu pun berhenti di sebuah bangunan semi permanen. "Kamu ga pernah tau ya tempat ini?" katanya penuh arti, tapi apa daya Senja ia sama sekali tak tau dimana ia berada sekarang. Namun genggam tangan Pandhu mulai merangkulnya menuntunnya kedalam bangunan itu.

Bau asap wangi aneh ditambah bau apek. Lorong-lorong temaram, banyak ruangan semi permanen. Tanpa sadar kini mereka berdua sudah sampai di depan pintu suatu kamar. "Tunggu disini, aku mau ke dalam" Senja hanya menatapnya kosong "kamu memang masih polos. Jangan kemana-mana diam di sini" tambah Pandhu seraya membuka gagang pintu kamar itu.

Polos katanya--aku hanya belum banyak tau, pikir Senja. Rasa penasaran itu menuntun langkah Senja, menyusuri lebih dalam lorong itu. Sesaat langkahnya terhenti karena ia mendengar suara aneh dari salah satu pintu disana.

Ketika ia mulai mendekati pintu itu. Sebuah genggaman tangan menghentikannya, "Jangan diganggu, penghuninya sedang sibuk" Senja menoleh mengamati sosok itu dengan seksama. Ia pria sekitar lima tahun lebih tua dari dirinya. Genggaman dipundaknya mulai turun ke tangannya. "Kamu seharusnya masuk ke pintu ini" kini tangan pria itu berada dipinggangnya, menuntunnya masuk.

Kini ia tahu betul ini sarang prostitusi. Senja sadar ia terjebak, tak mungkin bisa ia teriak. Kini terpaku badannya sudah diraba oleh pria itu. Membuka perlahan buah bajunya.

>----<

"Pandhu, gimana tawaran ku?" Kata suara bass itu pada Pandhu, bahkan sebelum ia mengucapkan salam.

"Yah, oke langsung deh ya. Jawabannya YA"

"Bagus barangnya ku kasih sekarang juga lah. Omong-omong soal hari itu gimana perasaan mu"

Pandhu tersenyum getir ah ia ingat Senja menunggunya "omongin itu kapan-kapan lah ya. Ada urusan penting"

"Okay, kamu tau bisa percaya sama siapa Ndhu!"

Senja tak ada--Pandhu menoleh ke segala arah. Tak ada. Namun satu pintu baru tertutup di lorong prostitusi. Berlari ia kesana membukanya dengan panik.

Setengah badan Senja sudah tak tertutupi. Pria itu meraba buah dadanya. Senja hanya menatapnya kosong.

Sekejap adrenalin Pandhu memuncak. Tinjunya sudah sampai di wajah pria itu. Cukup keras sampai ia berdarah. Lalu digapainya Senja dan bra hitamnya yang jatuh dilantai.

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang