Bayangan

139 11 0
                                    

Senja, si anak baru, kesayangan para guru. Jika bukan karna beasiswa itu, mungkin Senja memulai tahun awal SMA-nya di sekolah ini. Dengan begitu mengahapus gelar anak barunya.

Walau kurang pas menyebutnya anak baru. Karena sedari SMP mayoritas teman seangkatanya mengenalnya, atau setidaknya tau siapa Senja. Siswi berprestasi yang mengharumkan nama bangsa.

Senja sungguh sosok murid sempurna. Ia selalu baik dalam segala bidang. Setidaknya itu yang Senja usahakan.

Ia siswa yang duduk dekat dengan meja guru. Siswa yang ketika siswa lain berdiskusi tentang grup musisi favorit, ia akan membahas masalah politik, isu global, dan topik yang tak wajar dibahas remaja tanggung sepertinya bersama gurunya.

Pagi ini Senja berangkat ke sekolah. Kakinya menapak di tanah sekolah. Sosok Senja yang murung berubah seketika menjadi sempurna tanpa ada luka dihatinya.

Langkahnya menyusuri koridor-koridor sekolah. Senyumnya selalu terpasang menyapa tiap orang yang berpapasan dengannya.

Ia masuk ke ruang kelasnya. Kecewa kursi paling dekat dengan meja guru telah ditempati murid lain. Matanya meneliti kursi kosong lain, kursi itu berada di barisan kedua dari belakang. Dengan kecewa ia menaruh tasnya disana.

Senja memilih duduk di kelas sampai pelajaran dimulai. Ia membuka laptopnya mulai meneruskan artikelnya. Senja penulis magang di salah satu koran swasta. Upahnya tak begitu berarti, tapi ia sadar uang ayahnya untuk pengobatan Ratri.
Bel masuk berbunyi. Mulai terlihat segrombolan gadis masuk dekat Senja. Mereka membicarakan Senja, "Iya sih keliatannya di keluarin deh"

"Iya lah, susah susah dapet beasiswa ke Australia ngapa coba balik gitu aja ke Indonesia", Senja mendengar semua itu tapi ia diam menyimak. Cercaan seperti itu sudah biasa dialaminya.

"Haduh, ibu-ibu, asik banget ngomongin orang?" Suara itu lagi, pikir Senja. Pandhu. Ia sempat mencuri panjang pada pemuda itu, lalu cepat memalingkannya lagi.

"Tau dari mana sih, berita burung kaya gitu? Kayak yang update banget"

"Ye ampun Pak, kita tau dari bestie-nya Senja sendiri"

"Bestie? Senja? Lha, kan gue. Sapa yang ngaku-ngaku bestie-nya Senja?"

"Bangun Pak! Sapa lagi, Arin anak IPS.1"

"Gak kenal tu! Ngarang kali tu anak", Pandhu melenggang menjauh, ia sempat melihat Senja. Senyumnya masih ada di wajahnya. Seakan tak ada yang salah. Tunggu, matanya tak sejernih biasanya. Tatapannya kosong, matanya selalu jujur tak seperti dirinya.

Pandhu merasa pedih melihatnya sakit. Ia rasa, kini ia perlu melakukan sesuatu. Tapi, tidak ia tak bisa, kenangan masa lalunya masih menghantui.

»------«

"Ouchh . . Senja, maaf", kuah soto panas ditumpahkan tepat ketika Arin menutup mulutnya. Senja hanya dapat menahan perih yang dirasakannya di sekujur pergelangan tangannya.

"Maaf, Senja aku engga sengaja. Aku cuma mau nunjukin ke kamu aku bukan bayangan mu. Keberadaan ku nyata. Setidaknya aku selalu aku", tepat seluruh kantin melihat mereka berdua. Senja diam menahan rasa sakitnya. Kepalanya yang masih tertunduk, perlahan menatap mata Arin lalu memalingkannya, seolah mencari.

Pak Sakti kebetulan lewat, "Senja boleh pinjam pel-nya sebentar Pak?", beliau berada di belakang Arin sedari tadi diam memperhatikan. "Permisi Arin", katanya seraya melewati gadis yang wajahnya merah padam menuju ke Pak Sakti.

"Aduh, Mbak Senja engga usah biar bapak saja yang bereskan"

"Bapak kan sibuk. Senja kan yang harus tanggung jawab sama perbuatan Senja"

"Tapi kan bukan--", kalimat itu tak selesai karna Senja sudah mengambil tongkat pel itu. Pak Sakti tak mau kalah tepat ketika Senja ingin memulai membersihkan kekacauan itu Pak Sakti langsung mengambil alih. "Sudah, Mbak Senja lanjutin nulis majalah sekolahnya kasihan itu Mbak Nesya nunggunya", sejenak ia teringat alasan keberadaannya di kantin karna rengekan junior di redaksinya ini.

"Dek, jadi beli minumnya?" tannya Senja.

"Engga apa deh Kak Senja, kita mending nge-print ulang laporan liputannya deh, basah gitu kena kuah soto--" seraya ia mendekat mengambil berkas-berkas yang sedari tadi di genggam Senja. Ia memungutnya dengan jijik membuangnya di tempat sampah.

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang