Epilogue : Our Affection, Our Curses

2.5K 193 116
                                    

Naomi POV

Kalender di hapeku menunjukkan tanggal 12 bulan Juli. Itu berarti enam bulan sudah berlalu semenjak insiden Gracia dan Sinka di Jepang. Butuh waktu sekitar 2 bulan sampai Sinka bisa menerima kenyataan kalau ia dan Gracia tidak mungkin bersama. Walau sebenarnya aku juga ragu apa adikku ini sudah benar-benar pulih dari kesemuaannya itu atau belum. Yah, tapi, setidaknya kehidupan kami sudah berlangsung normal kembali. Sinka yang pada awalnya agak menjauh dariku kini sudah kembali manja-manjaan seperti dulu. Untuk itu, sekali lagi aku bersyukur.

Aku sendiri belum mulai bekerja lagi selain membantu ibuku di toko. Sebenarnya dengan pengalaman dan prestasiku, aku bisa saja mencari pekerjaan di Bandung. Tapi kupikir aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Sinka dan ibuku. Semenjak aku dan Sinka bekerja di Jakarta kami memang hampir tidak pernah berkumpul bersama. Jadi selama beberapa bulan ini kami menebus semuanya itu dengan selalu bersama.

Tapi...dari antara semua buah hasil insiden itu, ada satu hal yang aku sesali. Veranda. Selama enam bulan ini aku putus kontak dengannya. Tidak ada telpon, tidak ada pertemuan, tidak ada chat. Nama Jessica Veranda hanya 'mengganggur' di hapeku. Tak pernah selama ini dia mengacuhkanku. Apa dia marah padaku? Atau dia kecewa padaku? Atau Gracia melarangnya untuk menghubungiku? Apa kami akan bisa bicara dengan normal seperti dulu atau berakhirlah hubungan antara keluarga kami untuk selamanya?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dalam pikiranku selama beberapa minggu terakhir ini. Selagi tidak ada pelanggan di tokoku, aku terus membuka tutup aplikasi line dan membuka chat-ku dengan Veranda.

S.Naomi : Ve, aku dan Sinka sudah tiba di Indonesia dengan selamat. Terima kasih tiketnya.

READ

Itulah pesan terakhir yang kuterima dari Veranda. Enam bulan lalu. Setelah itu sudah tidak ada apa-apa lagi diantara kami.

Drrt...drrt...drrt....

Jessica Veranda Calling...

Aku terkejut membaca nama itu tiba-tiba muncul di siang bolong.

Ve? Aku tidak mimpi kan? Ini benar-benar Ve menelpon kan? Apa dia salah tekan?

"Ha...Ha...Halo, Ve?" kataku.

Veranda tidak salah tekan nomor. Dia memang ada perlu bicara denganku saat itu. Suaranya masih sama lembutnya sesuai ingatanku. Meskipun begitu nada bicaranya terdengar serius. Dia mengatakan kalau papa-nya ingin bicara denganku dan secepat mungkin aku ke kantor pusat di Jakarta. Veranda mengatakan bahwa aku tak perlu takut. Sebenarnya takut atau tidak takut, aku tetap harus menghadap papa Ve. Aku harus meminta maaf atas perlakuan aku dan Sinka yang telah membuat pekerjaannya terganggu.

Maka tanpa menunggu lagi, aku pun berangkat siang itu juga ke Jakarta dengan mobil pribadiku. Sepanjang perjalanan aku juga menyiapkan mental kalau-kalau aku akan mendapat amukan dari papa Ve.

.

.

.

Sekitar 4 jam aku menembus jalan tol Bandung-Jakarta. Pukul 6 sore aku tiba di kantor pusat perusahaan milik keluarga Veranda. Gedung itu sudah sepi karyawan, tapi Ve mengatakan papanya masih menunggu di lantai paling atas. Maka aku pun segera menaiki lift dan naik sampai ke lantai paling atas.

Di lorong lantai gedung tertinggi itu aku melihat sahabatku yang sudah enam bulan tidak kutemui. Kecantikannya tidak berkurang sedikit pun. Rambutnya tergerai panjang begitu indah. Dan ajaibnya... pipinya masih seperti bakpao.

"Ve..." panggilku dengan agak ragu. Namun keraguanku segera dihapuskan oleh senyum lembut Ve seiring dia berjalan cepat ke arahku lalu memelukku.

"Mi...!! Lama banget gak ketemu sama kamu! Kamu makin gendats aja..." ucapnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Tale of Two SistersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang