Prologue

11.6K 378 6
                                    

"Tha," panggil Winna. "Aku dengar dari departemen onkologi. Katanya kau baru saja membuat seorang pasien terkena serangan jantung saat konsultasi."

Eltha melotot. "Ulang sekali lagi!"

Winna mengulanginya sambil terkekeh kecil. "Kata perawat, kau membuat seorang pasien mendapat serangan jantung saat konsultasi."

"Mereka hanya melebih-lebihkan yang sebenarnya," balas Eltha, sambil mengantongi kedua tagannya di dalam baju operasi kebanggaannya. Gadis itu kini berusia 32 tahun, dan masih single. "Aku hanya memberikan pernyataan yang sebenarnya kepada pasien itu agar dia bersiap-siap."

Sambil berjalan melalui departemen bedah, Eltha yang berjalan di depan Winna sambil menggunakan sepatu kets itu masih mengoceh. Dan sesekali, Winna menanggapinya dengan kepala dingin.

"Kau tahu, kalau tidak semua pasien bisa kau samakan seperti itu, Tha. Contohnya, pasienmu pagi tadi yang terkena serangan jantung setelah kau bacakan vonisnya," jelas Winna sambil mengekor, dengan baju operasinya, dan memakai sepatu kets.

Eltha tidak menghiraukannya. Dia tidak pernah merasa bahwa dia melakukan hal yang salah kepada pasiennya. Dia hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk pasien-pasiennya.

Semakin banyak memberikan rayuan-rayuan, berupa penyejuk telinga yang memberikan harapan segar, akan semakin membuat dirinya membuang-buang waktu untuk melakukan tindakan kepada pasiennya.

Sampai di lantai 15, yang merupakan bagian dari departemen onkologi, neurologi, pulmonologi dan kardiologi, Eltha segera berbelok ke kanan dari lift, menuju tempat ruang praktiknya.

"Eltha!!" Seru Leo yang berjalan cepat menujunya. Leo masih memkai baju operasinya, dan pelipisnya penuh dengan keringat.

Eltha menoleh, begitu pula dengan Winna yang ikut mengekor Eltha. "Wow! Kau habis melakukan olahraga di mana? Basah sekali kelihatannya!"

"Kau bisa lihat aku baru selesai operasi. Dan aku benar-benar sibuk," balas Leo, "Tapi aku ingin bicara empat mata denganmu."

Eltha memonyongkan bibirnya. "Mengerikan sekali. Apa yang kau mau bicarakan, huh?"

Leo melihat lorong itu sepi. Bahkan kosong. Hanya ada mereka bertiga, akhirnya Leo memutuskan untuk mengatakannya di sini saja.

"Aku dengar kau menemui Mr. Takashi, dan kau berhasil membuatnya terkena serangan jantung," kata Leo. "Apa kau gila?"

"Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu."

Winna menoleh pada Eltha, melotot dan mengingatkannya. "Hei, Tha! Cukup!"

"Kau mengatakan bahwa dirimu adalah seorang onkolog andal yang mampu menangani pasien apapun," jelas Eltha tanpa memedulikan Winna, "Senjatamu adalah nilaimu yang selalu menjadi terbaik kedua, kekuasaan mertuamu disini, dan pisau bedahmu. Lalu, apa menurutmu dengan memberitahukan apa yang enak di dengar telinga akan menjadi hal yang tepat untuk menghibur pasien?"

Leo tertegun. Dirinya memang selalu kalah dalam hal akademik dan perdebatan pasien dengan Eltha.

"Apa kau pikir dengan kau memberikan ucapan manismu, mereka akan sembuh? Jangan gila, Le!!!"

Eltha meninggalkan lelaki yang seangkatan dengannya itu. Lelaki yang lebih tua darinya, dan yang sempat mengejar dirinya saat kuliah dulu.

Eltha masuk ke dalam ruangannya.

dr. Eltha Karina, Sp.BOnk (K)

Winna ikutan masuk juga ke dalam ruangan Eltha dan langsung meluncurkan apa yang ingin di sampaikannya sedaritadi. "Itu tadi keterlaluan, Tha."

Two Doctors' TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang