"Dari mana kamu?"
Suasana rumah yang tadinya sepi seketika berubah mencekam ketika suara seorang wanita menggema di ruang tengah yang megah hingga ke arah tangga. Di pijakan ketiga, seorang anak lelaki berusia delapan belas tahun berdiri di balik balutan seragam sekolahnya dan rambut agak berantakan.
"Sekolah."
"Lihat Mama kalau sedang bicara!"
Suara Andien meninggi, membuat Gilang akhirnya berputar ke arah ibunya yang tampak marah. "Abis dari mana kamu?"
"Sekolah, Ma," jawab Gilang sekali lagi. "Gilang, kan, pakai seragam. Gitu aja ditanya," gumamnya. Kemudian ia berbalik, hendak menuju kamar di lantai dua.
"Gilang, Mama belum selesai ngomong!"
"Yaudah, apa?" Gilang kembali menghentikan langkahnya dan berbalik. Tatapannya malas.
"Tell me the truth, kamu dari mana?!"
Lelaki itu menghela napas, mulai menyadari bahwa pertanyaan dari ibunya adalah upaya untuk membuatnya mengaku. Ibunya pasti sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi dari Pak Fandi, guru kesiswaan di sekolahnya.
"Dari—"
"Kenapa kamu nggak sekolah?!" Tanpa peduli dengan jawaban Gilang, Andien berteriak lagi.
Suara Andien itu tentu terdengar sampai ke dapur, ke telinga para pramuwisma. Jika sedang dalam keadaan seperti ini, mereka hanya bisa diam mendengarkan. Tak jarang mereka juga merasa kasihan kepada Andien, sebab anak sulungnya itu memang selalu bikin masalah.
"Aidan Gilang Amzari!"
"Bosen," jawab Gilang dengan enteng. "Maaf, Ma. Gilang nggak lagi bolos."
"Ini udah yang keseribu kali kamu ngomong kayak gitu, tau nggak?!" semprot Andien. "Kamu bakal ngomong kayak gini sampe lulus?"
Gilang diam saja. Namun, diamnya itu bukan karena ia takut atau merasa kecil karena sedang diomeli oleh ibunya sendiri, melainkan ia sudah lelah dan malas menanggapi omelan Andien.
"Itu juga kalau kamu lulus!" tambah wanita berusia empat puluh tahun itu.
"Ya Mama doain aja semoga Gilang—"
"Kalo lagi dibilangin orangtua nggak usah nyahut!"
Kedua bibir Gilang kembali terkatup.
"Sama siapa aja kamu bolos? Sama mereka lagi, iya?"
Gilang tak bersuara, yang ia lakukan hanya menggaruk-garuk belakang kepala dan hidungnya secara bergantian.
"Jawab kalau ditanya!"
"Ya ampun, Ma." Gilang menarik napas. "Tadi katanya gak boleh nyautin?"
"Ya beda! Tadi Mama nggak nanya!"
Gilang mendengus. "Nggak. Bukan sama mereka."
"Awas kamu, ya. Sekali lagi Mama dapat telepon dari Pak Fandi, Mama gak main-main sama kamu!"
"Iya."
"Gak usah nyaut!"
Refleks, kedua tangan Gilang terangkat ke udara. Tampaknya apa pun yang ia lakukan saat ini jadi serba salah di mata ibunya.
"Kalau sampai papa kamu tahu, habis kamu!"
Gilang mengangguk sembari membenarkan tasnya.
"Udah sana mandi! Jemput adik kamu di tempat les jam enam nanti. Pak Tejo mau anterin Mama ke rumah Mami," tutur Andien, merujuk kepada ibu mertuanya yang dipanggil Mami oleh seluruh keluarga besar Amzari.
"Yaudah, Mama jemput Nadine aja dulu, terus sekalian ajak Nadine ke rumah Mami."
"Kamu kenapa sih kalau disuruh Mama—"
"Okay, okay." Gilang mengangguk-angguk, tak mau mendengar repetan Andien lagi. "Nanti Gilang jemput Nadine di tempat les." Kemudian, ia kembali menaiki tangga.
"Langsung pulang! Adik kamu jangan dibawa ke mana-mana dulu!" seru Andien, mengingat kejadian sepekan lalu saat Nadine dibawa pergi sampai larut malam. "Gilang, kamu dengar Mama nggak?" tambahnya setelah tidak menerima respons dari anak sulungnya itu.
"YES MA'AM!"
Kemudian setelah suara teriakannya itu mengudara ke lantai bawah rumahnya, pintu kamar Gilang tertutup rapat.
***
Aidan Gilang Amzari
(ditulis ulang 2023)
KAMU SEDANG MEMBACA
Feel Real (SELESAI)
Teen FictionInsiden mencengangkan, berani, dan kurangajar yang dialami oleh Gatari dan Gilang pada suatu pagi di lorong sekolah mereka, menyatukan keduanya pada sebuah pertempuran dingin. Sialnya, api kebencian itu semakin membara saat mereka dipertemukan lagi...