"Ada lagi yang belum kamu kasih tau?"
Entah sudah berapa lama mereka bicara dalam suasana tegang yang membuat tidak nyaman. Gilang berdiri bersandar di tembok kamarnya dan Gatari duduk di tepi kasur. Laki-laki itu kelihatan serius, mimik wajahnya bercampur antara kesal dan cemburu. Tapi di sisi yang lain, ia berusaha mengerti dan sabar. Karena Gatari pasti punya alasan dari tindakannya itu.
"Udah itu aja."
"Siapa sih dia?" intonasi Gilang semakin dingin. "Dia nggak tau kamu udah punya pacar?"
"Nggak gitu, Lang. Abis rapat itu kan anak-anak yang lain juga survey ke lokasinya—"
"Nggak, bukan masalah kamu bareng sama dia," potong Gilang. "Kamu tadi bilang dia sampe kirim kamu makan. Emangnya aku ga bisa kirimin kamu makan?"
"Lang..."
"Dia suka sama kamu Ta."
Gatari berdecak. "Tapi aku sukanya sama kamuuu," ujarnya, berusaha menenangkan Gilang yang baru dengar cerita tentang salah satu anak organisasinya semester kemarin. Saat sudah liburan dan mereka bertemu, Gatari baru berani cerita. Ia khawatir Gilang sudah keburu marah dan urusannya jadi panjang kalau tidak bertatap muka langsung.
"Ya tau," kata Gilang. "Tapi aku jadi males."
"Lang yaudah lah... kan udah lewat juga."
"Terus kenapa baru cerita sekarang?"
"Ya soalnya aku takut kamu marah, dan ga enak juga kalau nggak langsung gini ngomongnya."
"Kakak tingkat kamu ya itu?"
"Lang, ya ampun masih dibahas aja."
"Aku cemburu, ngerti nggak sih? Kamu jauh dari aku terus dia deketin kamu kayak gitu. Lebih tai lagi kalau sebenarnya dia udah tau kamu punya pacar." Gilang melipat kedua tangannya di depan dada. "Dia pasti tau lah, di Instagram kamu ada foto aku kok. Nggak mungkin dia segoblok itu."
"Lang."
"Keluar aja Ta."
"Kamu jangan gila ya." Gatari terkejut mendengar Gilang bicara demikian. "Aku nggak suka kayak gini."
"Aku nggak suka juga kamu kuliahnya jadi ga bener," sahut Gilang. "Kamu nggak inget nelpon aku malem-malem nangis gara-gara tugas kamu keteteran? Jadi sering begadang, rapat sana-sini. Kamu—"
"Tapi aku bisa!"
"Aku nggak bilang kamu nggak bisa."
"Apaan sih kok kamu jadi ngerembet ke organisasinya gitu? Aku kan cuma cerita tentang Reyhan ke kamu. Bukan salah organisasinya."
"Siapa yang nyalahin sih?" Alis Gilang mengerut. "Kalau kamu nggak mau keluar yaudah, aku juga nggak maksa dan nggak akan marah. Kok jadi ikutan marah ke aku?"
"Ya abis, gitu jawabnya. Nggak suka aku disuruh-suruh keluar. Selama aku suka jalaninnya yaudah, jangan begitu."
Gilang menghela napas. "Oke, aku minta maaf. Terus Reyhan-Reyhan itu masih suka ngehubungin kamu sekarang?"
"Masih."
"Kamu respon?"
"Kadang—"
"Ck, Ta!"
"Kalau penting!" Gatari langsung membela diri. "Kalau penting masa aku diemin? Kalau kamu nggak percaya nih, baca aja sendiri. Baca semuanya, nggak ada yang aku hapus." Tangannya yang memegang ponsel mejulur ke arah Gilang agar laki-laki itu mengambilnya. "Ini, ambil."
"Nggak, apaan sih?"
Gatari diam sejenak, mencoba tenang dan menjelaskan lagi dengan cara yang lebih baik. Gilang kelihatan sekali kalau ia kesal, namun tidak bisa meluapkan kekesalannya. Alhasil, Gatari berusaha mencari jalan tengah. "Kalau emang ada sesuatu antara aku sama Reyhan, aku nggak mungkin cerita sama kamu. Aku bakal nutupin semuanya, dan di bagian itu kamu juga udah tau kalau berarti ada sesuatu yang salah. Aku baru cerita sama kamu sekarang bener-bener karena aku nggak mau kita marahan dan nggak langsung selesai. Aku tau banget respon kamu gimana. Dan kalau aku nggak sama kamu, yang repot sendiri jadi kita berdua, Lang. Aku bakal kepikiran kamu, dan kamu sendiri bakal ungkiiiit itu terus."
Gilang menoleh menatap Gatari. "Aku cemburu."
"Iyaa, aku tau. Terus gimana? Coba sini kamu duduk, jangan di situ." Gatari bergeser dari tempatnya, memberi ruang untuk Gilang.
Laki-laki itu pun menurut dan ikut duduk di sebelah Gatari. Begitu dekat, sampai lengan mereka bersentuhan. Suasana hatinya masih tidak enak disertai dengan kekhawatiran yang kerap hadir. Ia tidak suka Gatari didekati laki-laki lain. Tapi di satu sisi, ia sendiri pun tidak bisa mencegah itu terjadi.
"Jangan suka sama orang lain Ta."
"Lang." Gatari terkekeh mendengarnya. "Kalau aku suka sama orang lain ngapain aku sekarang di rumah kamu?" ucapnya. "Ngapain aku bangunin kamu setiap jadwal kuliah pagi? Hm? Ngapain coba aku ladenin setiap kejayusan kamu?"
"Aku nggak jayus ya," bantah Gilang. "Sedikit sih."
"Nggak apa-apa kok, apa yang kamu rasain itu wajar. Kan aku juga pernah cemburu."
"Sama siapa?" Laki-laki itu langsung menoleh cepat. "Aku ga pernah deket sama—oh, iya deng. Shofia ya?"
Gatari mengangguk, sambil sengaja mengembungkan pipinya untuk menahan rasa canggung karena permasalahan itu dibahas lagi. Gilang harus mengulang dua mata kuliah untuk memperbaiki nilainya. Dari situ, ia jadi kenal dengan beberapa adik tingkatnya karena berada dalam satu kelompok belajar dengan mereka. Dan suatu ketika mereka pulang dari kerja kelompok, salah satu adik tingkatnya yang bernama Shofia jatuh pingsan. Gilang langsung membawanya ke rumah sakit ditemani dua orang adik tingkatnya yang lain.
Saat Gatari ditelepon oleh Gilang untuk dikabari, perempuan itu tentu langsung merasa khawatir oleh keadaan Shofia. Tapi tak lama kemudian, ada perasaan lain yang mengusiknya ketika telepon terputus. Gilang bilang ia akan menunggui Shofia sampai dibolehkan pulang oleh dokter.
"Ya gimana Ta? Masa anak orang pingsan aku tinggalin? Semuanya juga pada naik mobilku."
"Yaudahlah, kan itu logis dan udah lewat juga." Gilang memberikan penjelasan yang sama.
"Iya aku juga nggak pernah mempermasalahkan kok, kan cuma jujur, biar lega."
Mendengar itu, suasana hati Gilang perlahan-lahan berubah. Gatari ada benarnya. Mengungkapkan perasaan tak melulu berarti menuntut sikap dari yang mendengarkan. Pada saat itu Gatari bicara bahwa ia cemburu agar dirinya terbebas dari rasa yang mengganggu. Dan sejujurnya Gilang juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin sekarang juga sama. Tidak ada lagi yang bisa Gatari perbuat. Organisasi itu adalah hal penting untuknya, dan kebetulan saja Reyhan ada di lingkaran yang sama. Gatari tidak bisa meninggalkan kewajibannya di samping kuliah selagi ia masih suka dan bisa. Dan sebagai kekasih yang baik, Gilang tentu saja mendukung itu.
Tangannya bergerak menepuk puncak kepala Gatari dan mengelusnya sebelum kembali ke posisi awal. Ia mulai mengerti. "Iya ya, ada banyak situasi yang nggak bisa kita ubah terlepas dari apa yang kita rasain saat itu."
Yang perempuan mengangguk.
"Aku cemburu karena akan ada momen aku nggak di sana saat kamu butuh aku, dan aku nggak mau kalau Reyhan yang tiba-tiba hadir."
"Laaaang."
"Biar lega," ujar Gilang, sembari berusaha tersenyum menatap kekasihnya. "Aku sayang sama kamu Ta."
Gatari mengangguk lagi, kali ini sambil menahan senyum karena ia tidak menyangka kalau suasana akan langsung berubah jadi mengharukan. "Iyaa."
"Kalau kamu suka sama orang lain nanti aku pelet aja deh kamu."
"Sembarangan!"
"Ya mau gimana lagi? Orang tua kita juga pasti dukung kok!"
"Ngaco deh mulai."
***
HAHAHA rese banget gue harusnya ngerjain yang lain guys bukan nggak ada kerjaan. Hadeh kacau. Stay safe ya semuanya! Rajin cuci tangan dan semoga karantina ini segera berakhir karena gue udah suntuk abis.
Salam sayang!
KAMU SEDANG MEMBACA
Feel Real (SELESAI)
Teen FictionInsiden mencengangkan, berani, dan kurangajar yang dialami oleh Gatari dan Gilang pada suatu pagi di lorong sekolah mereka, menyatukan keduanya pada sebuah pertempuran dingin. Sialnya, api kebencian itu semakin membara saat mereka dipertemukan lagi...