[1] Keberanian Yang Menjadi Sumber Masalah

397K 22.6K 4.8K
                                    

"Lo tau? Setelah gue bales chat dia kayak gitu, baru deh dia minta maaf sama gue!"

Suara kegirangan itu berasal dari seorang perempuan bernama Fea yang kini berdiri di sebelah Gatari, yang sedang menunggui Adel menukar buku-buku pelajaran di loker.

Pertemanan mereka bertiga dimulai sejak masa orientasi siswa hampir dua tahun lalu. Sejak saat itu, ketiganya selalu bersama-sama setiap ke kantin atau hang out di akhir pekan. Di beberapa mata pelajaran mereka juga berada di kelas yang sama. Sehingga sampai saat ini, pertemanan itu semakin erat.

Sebelum bel pelajaran berbunyi, siswa SMA Parama Bangsa selalu ramai di luar kelas baik itu di koridor, lapangan olahraga outdoor, atau di kantin. Mereka memanfaatkan waktu untuk mengobrol dengan teman-teman atau untuk menyalin PR yang lupa dikerjakan secara diam-diam. Yang jelas, sebelum bel berbunyi, keadaan antero sekolah tidak akan sepi.

"Cowok emang suka kayak gitu, ya? Padahal yang kita maksud tuh simple aja." Adel mengambil buku sejarah dari loker dan memasukkannya ke tas.

"Eh, ngomong-ngomong, lo udah ngerjain PR Sejarah belum?" tanya Gatari kepada Adel. "Gue lupa banget, sumpah! Baru inget di jalan tadi."

"Udah, tenang aja. Sejarah setelah jam istirahat, kan?"

Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, empat anak lelaki masuk berbaregan dari pintu utama. Aura mereka terasa berbeda jika dibandingkan dengan murid-murid yang lain, apalagi kalau mereka berkumpul seperti itu. Beberapa murid yang tadinya berlalu-lalang di tengah koridor memilih untuk menghindar ketika mereka lewat. Namun, perlakuan itu bukan karena mereka sungkan, melainkan mereka malas apabila bersangkutan dengan keempat anak itu.

Suara gelak tawa Eki terdengar nyaring di lorong koridor setelah ia membicarakan sesuatu dengan Gilang. Pundaknya berguncang-guncang dan kedua matanya menyipit. Gilang juga tertawa akibat perkataannya. Kemudian, Eki mengulang pernyataannya itu kepada kedua sahabatnya yang lain, Evan dan Rafi. Mereka ikut tertawa, dan bertepatan dengan itu, pandangan mereka berempat tertuju kepada satu murid lelaki yang kebetulan lewat di koridor.

"Eh, itu dia orangnya!" ujar Eki antusias dan disusul gelak tawa. Cara bicara dan memandangnya itu, seperti menghina.

"Si Anjing, awas lo nanti jadi mangsanya!" Rafi menyenggol lengan Eki, meskipun ia tidak bisa menahan diri utuk tidak tertawa juga.

"Tai lo!" sahut Eki. "Gue gak doyan pisang, ya!"

Rafi tertawa semakin renyah.

"Yeremi!"

Suara Gilang begitu lantang, membuat beberapa orang menoleh ke arahnya termasuk yang dipanggil. "Gimana sama Putra? Asik gak?" tanyanya yang diikuti tawa penuh ledekan oleh ketiga sahabatnya yang lain.

Sementara, Yeremi hanya bisa menelan ludah. Ia tidak mungkin menanggapi omongan Gilang, apalagi di foyer sekolah seperti ini. Perasaan malu mulai menggerogoti, sebab banyak mata kini sudah tertuju padanya.

"Apaan, sih, Gilang?" Masih di depan loker, Fea yang mendengar percakapan canggung itu mulai mendumel kepada Gatari dan Adel yang tentu juga mendengarnya. "Kebiasaan banget, deh, pagi-pagi."

Gatari yang terdiam sejenak di depan lokernya, langsung paham apa yang keempat lelaki itu bicarakan. Hampir beberapa orang sudah menerka-nerka orientasi seks Yeremi—tidak terkecuali dirinya—karena unggahan Yeremi di media sosial. Tapi jika sudah dibicarakan dengan cara seperti ini, apalagi sampai dijadikan bahan olok-olokan, Gatari merasa itu merupakan hal yang tidak tepat.

Ia jadi ikut khawatir. Tatapannya pun bergerak ke arah Yeremi yang tampak berusaha tidak memerdulikan empat lelaki itu. Yeremi pasti merasa sangat tidak nyaman.

Feel Real (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang