Radioactive

7.6K 371 44
                                    

Seperti reaksi dua unsur kimia yang saling memecah dan mengikat elektron dalam waktu bersamaan, menghasilkan suatu senyawa baru dan melepaskan energi yang cukup besar ke lingkungan di luar reaksi tersebut.

Apa yang kurasakan sekarang adalah sesuatu itu sangat sulit untuk diartikan. Bahkan sesuatu itu juga tak ku ketahui namanya.

Dia, dia yang siang itu datang ke toko sederhana milikku ini telah membangkitkan sesuatu yang telah lama terlelap di dalam dadaku. Radioaktif... Boom! Semua terjadi begitu saja seperti Big Bang.

Apa... Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Hanya dengan melihat senyumannya yang memamerkan deretan gigi rapi dengan jarak teratur itu membuatku kehilangan kesadaranku.

Dadaku berdegup tak karuan, kakiku terasa lemah tanpa tumpuan. Bahkan bibirku mendadak menjadi pemberontak, ia tak ingin bergerak barang sedikitpun saat lelaki itu semakin mendekat ke mejaku.

"Selamat siang," sapanya ramah sekali. Senyuman itu tak pernah mengkhianati tuannya. Lengkungan itu tetap setia menghiasi dagu yang dihiasi rambut-rambut halus dan semakin indah karena berpadu dengan rahang kokoh miliknya.

"I... Iya... Selamat siang." Butuh tenaga lebih besar untukku mengucapkan kata itu. Lagi-lagi senyuman itu membekukan tubuhku.

'Hentikan! Tolong jangan tersenyum lagi padaku!' batinku berteriak.

"Bisa bantu saya?" tanyanya kemudian.

Aku masih berusaha mengumpulkan energi yang sedari tadi tercecer ke segala penjuru. Bahuku mulai naik turun dengan tempo lambat, aku masih berusaha mengatur napasku sebelum akhirnya menjawab pertanyaannya. "Tentu saja, Mas. Apa yang bisa saya bantu?"

Lelaki di depanku dengan kemeja motif papan catur warna hitam dan merah tak dikancingkan dengan lengan yang digulung sampai siku itu menarik kursi yang ada di depan mejaku. "Bolehkah saya duduk, dulu?"

"Ya... tentu saja, Mas. Silakan!"

"Terima kasih," jawabnya santai dan kemudian duduk di hadapanku. Tangannya mulai sibuk membuka katalog yang tersedia di depannya.

Kuamati kembali setelan yang dia kenakan. Kaos warna biru gelap ber-merk 3 second itu sengaja dia padukan dengan jeans warna senada yang membuat tampilannya menjadi sangat modis. Ditambah sneakers hitamnya... uh, perfect.

Jika dibandingkan dengan gaya berpakaianku... amat sangat jauh sekali, aku sama sekali tidak ada apa-apanya. Aku yang selalu mengenakan baju apa saja yang penting nyaman ini tak pantas jika harus disandingkan dengan sosok tampan di depanku itu.

"Maaf... kalau saya ambil paket yang ini, berapa harganya?" tanyanya yang kemudian menyadarkanku dari aksi gerilya yang dilakukan mata nakalku. Kuamati sebentar telunjuknya yang memilih satu paket kado berisi hiasan origami berupa bunga-bunga.

"Kalau yang itu tergantung ukurannya Mas. Ada tiga macam pilihan ukuran. Untuk ukuran kecil harganya 100 ribu, yang sedang 175 ribu dan yang paling besar 250 ribu." Aku coba menjelaskan spesifikasi masing-masing ukuran. Lelaki itu tampak antusias dengan penjelaskanku dan akhirnya dia memutuskan untuk mengambil paket ukuran besar.

"Kira-kira berapa hari jadinya? Bisa dikirim langsung atau harus diambil sendiri?" tanyanya kemudian sambil menatap lurus padaku. Dari sudut pandang ini, bisa kulihat matanya berwarna coklat cerah kontras dengan hiasan alis hitam lebat di atasnya.

"Tiga hari jadi, Mas. Kalau untuk paket besar ada gratis kirim ke alamat yang dituju. Dengan syarat masih dalam lingkup satu kota ini."

"Oh... syukurlah. Tolong dikirim ke Jalan Mawar 33 Blok 5A ya, Mas."

"Atas nama siapa?"

"Ratri saja, Mas."

"Baik... untuk nama pengirimnya?"

"Apa harus ditulis juga?"

"Iya Mas. Sekalian nomor telepon yang bisa kami hubungi. Jadi, nanti kalau pesanannya sudah selesai kami bisa hubungi untuk konfirmasi kembali."

"Hmm... ya sudah. Nama saya Damar, ini kartu nama saya. Di situ ada nomor telepon saya yang bisa dihubungi." Lelaki yang kini kukenal bernama Damar itu menyerahkan selembar kartu kecil berwarna putih. Tanpa kusadari senyuman nakal mulai terbentuk di bibirku, namun buru-buru kutahan agar Damar tak melihatnya. "Oya... ini biaya paketnya," sambungnya sambil menyerahkan 5 lembar uang 50 ribuan.

"Baik, Mas. Terima kasih atas pesanannya."

Damar mengangguk pelan. Dia mulai bangkit dari duduknya dan mulai melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.

Satu langkah...

Dua langkah...

Tiga langkah...

.

.

.

Ada yang aneh pada diriku. Tiba-tiba saja, aku tak ingin kehilangannya. Menatap punggungnya yang semakin menjauh, membuat dadaku terasa sesak. 'Apa ini? Kenapa dadaku terasa nyeri?'

.

.

.

Tujuh langkah...

Damar berhenti sejenak, lalu membalikkan tubuhnya. "Maaf, nama Mas siapa ya? Kalau bisa segera SMS ke nomor saya, ya. Biar kita bisa komunikasi kalau tiba-tiba saya mau tambah paketnya."

Aku gelagapan... tak siap dengan aksi tiba-tibanya itu. "Em... eh... nama saya Azka. Iya ini saya akan segera kirim SMS ke nomor Mas Damar." Baru kali ini aku merasa gugup untuk alasan yang tidak jelas.

"O.K... terima kasih." Saat itu juga, Damar pergi meninggalkan tokoku-meninggalkanku dengan rasa berkecamuk yang ada di dalam dadaku.

Seperti ... RADIOAKTIF ...

***

HEMPASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang