Cahaya itu berpendar menyilaukan. Mataku memicing untuk mengurangi intensitasnya. Sedikit demi sedikit pendaran itu meredup, memberi sebuah gambaran yang tak asing bagiku. Tempat ini adalah tempat yang sering kukunjungi bersama orang tuaku waktu keduanya masih bersamaku. Taman Sekartaji.
Taman dengan tatanan berbentuk seperempat lingkaran ini berada di ujung Jalan Veteran 1. Simpang tiga yang diikat oleh bundaran air mancur di titik tengahnya.
Aku tak tahu mengapa dengan tiba-tiba aku berada di tempat ini. Seperti anak kecil yang terpisah dari orang tuanya, aku merasa sangat panik. Aku ketakutan. Dan tepat di tengah bangku taman ini, aku mulai menangis. Menangis untuk suatu perkara yang tidak jelas adanya.
'Apa yang sebenarnya terjadi padaku?'
Kutekuk kedua lututku sebagai penyangga tubuh yang tak berdaya ini. Aku merindukan pelukan hangat itu. Sebuah pelukan yang sarat akan kasih sayang ibunda.
Masih dengan kepala tertunduk dalam celah kedua lutut, tanpa sadar kugumamkan nama ibu. Aku sungguh merindukannya.
Perlahan dan penuh kesabaran, kurasakan ada sebuah belaian tangan di rambutku. "Azka, jangan menangis, sayang."
'Ibu.'
'Apakah mungkin itu dirimu?'
Kuangkat kepalaku untuk memastikan kebenaran itu. Dan tidak salah lagi... wanita yang berdiri di hadapanku ini memanglah ibuku.
'Tapi... Bagaimana mungkin? Ibuku sudah lama tiada.'
"Bu, bagaimana bisa ibu menemui Azka!"
"Nak, tak ada yang tak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak."
Tutur lembut itu, masih sama seperti dahulu. Tak ada yang berubah dari ibuku. Semuanya masih sama.
Wanita berpakaian serba putih itu, kini duduk di sebelah kananku. Merengkuh bahuku dalam dekapan kasih sayang.
"Tak ada yang perlu kamu khawatirkan, Azka. Ibu kemari untuk menjemputmu. Agar kita bisa berkumpul bersama Ayah. Berkumpul seperti dahulu."
"Tapi, bu...," kugantung ucapanku itu. Ada suatu hal yang menghalangiku. Sesuatu yang tak bisa aku ingat. Tapi aku yakin bahwa sesuatu itu amatlah penting.
"Ibu tahu, nak."
"Tahu, apa?"
Ibuku tak langsung menjawab. Ia malah tersenyum padaku. Sebuah senyuman yang tak dapat aku artikan. Tapi telunjuknya menunjuk tepat di depan dadaku.
"Tanya hatimu, nak. Hanya dia yang bisa memberimu jawaban."
"Apa maksudnya, bu?"
Lagi-lagi ibuku tersenyum.
"Lihatlah di sekelilingmu, Azka!"
Kuikuti titahnya. Tapi tak juga kudapatkan jawaban itu. Kuedarkan lagi pandanganku. Nihil. Tak ada satupun objek yang bisa membantuku untuk memahami ucapan ibu. Yang ada hanya diriku yang semakin larut dalam kebingungan.
"Azka nggak ngerti, bu."
Ibuku terlihat menghela napasnya. Setelah hembusan ketiga, barulah tangannya terangkat menunjuk sebuah pohon yang berada di sudut taman ini.
"Kamu lihat pohon itu!" Kuikuti ke arah mana telunjuk itu tertuju. "Pohon apa itu, nak?" sambung ibu saat aku telah menemukan objek yang ia maksudkan.
Aku gagal mengingat namanya. Tapi hatiku sangat yakin bahwa aku mengenalnya.
"Apa kamu lupa, Azka? Dulu ayah sering membuatkan mainan, patung kecil, dan hiasan dinding kamarmu dari kayunya. Kamu paling suka dengan wewangian khas dari pohon itu."

KAMU SEDANG MEMBACA
HEMPAS
Romance"... Jangan pernah memberi sesuatu yang tidak bisa kau berikan! ..." Playlist Original Sound Track in this Story: 1. Imagine Dragon - Radioactive 2. Maliq and d'essential - Dia 3. Roulette - Aku Jatuh Cinta 4. Ellie Goulding - Hanging On 5. Christin...