Hurt

2.8K 263 31
                                    

Teori fisika itu memang benar adanya bahwa cahaya bergerak lebih cepat daripada suara. Seperti saat ini, saat semburat kelabu mulai bergelayut nyaman di kaki langit, kilat mulai berpendar penuh ancaman yang menakutkan diiringi gemuruh riuh.

Satu...

Dua...

Tiga...

Hingga kilatan ketujuh, barulah tetesan-tetesan besar itu turun membasahi tanah bumi ini. Angin ribut mulai bertiup kencang menerjang semua yang menghalangi jalannya, tak terkecuali jendela kaca kamarku yang berada di lantai dua tokoku.

Seperti memahami apa yang kurasakan, alam ini menjawab dengan deraan badai yang maha dahsyat. Sakit, sungguh sakit. Saat aku telah terjatuh tanpa syarat, kau meninggalkan diriku sendiri. Bahkan tak satupun kabar yang kau kirimkan untukku.

Dalam sekejap, jendela besar yang menawarkan pemandangan kota di depanku ini telah tertutup oleh jutaan titik air. Permukaannya berembun, pertanda suhu di luar sana telah menurun drastis.

Tanganku menuliskan namamu, tapi dalam sekejap embun menyapunya. Kuulangi untuk kedua kalinya, namun tetap saja gagal.

Alih-alih membersamaimu, untuk sekedar menulis namamu saja alam tak merestuiku. Lihatelah Mas, bahkan alam tak mengizinkan diriku memiliki cintamu.

Aku tahu Mas, kita berdua tak akan pernah bersatu. Kita berdua tak akan pernah memiliki satu tujuan yang sama. Tapi setidaknya kau bisa ungkapkan apapun yang kau rasakan atas diriku. Bukan berdiam seribu bahasa seperti ini. Bukan menghilang tanpa kabar seperti ini.

Ah... Sudahlah, sampai kapanpun aku tak akan pernah memintamu untuk kembali. Karena aku tahu bahwa duniamu bukanlah bersamaku.

.

.

Masih kusandarkan kepala ini di atas bantal empuk kesayanganku. Pusing ini belum juga menghilang. Alih-alih mereda, sakitnya malah semakin meradang. Rasanya ingin kupecah kepala ini dan kukeluarkan semua isinya, lalu kucuci hingga bersih agar tak ada satupun ingatan tentang dirimu di dalamnya.

Tahukah kau?

Aku sudah memercayakan hati ini padamu, setelah sekian lama aku tak bisa memercayai cinta. Tapi aku salah. Kuakui ini semua bukanlah salahmu, tapi ini semua karena aku yang membiarkan diriku jatuh dalam kenyamanan yang kau berikan.

Jika menurutmu aku bukanlah orang yang tepat untuk menjaga hatimu, harusnya kau tak memberiku petunjuk jalan menuju hatimu. Harusnya kau memberi tanda di pintu masuknya bahwa apa yang ada di balik pintu itu bukan untukku.

Bukan seperti ini cara yang harus kita ambil. Jika memang kau tak punya rasa seperti apa yang kumiliki ini, harusnya kau menghentikan diriku untuk tidak berjuang sendiri di satu sisi. Bukan malah membiarkan diriku mengambang dalam kebimbangan prasangka.

"Mas... Mas Azka!" Teriakan Lif terdengar sayup-sayup. Aku tak bisa memberikan respon apapun. Deraan rasa sakit di kepala membuatku tak ingin banyak bergerak.

Tak lama kemudian, Lif sudah berdiri di samping ranjangku. Kulihat wajahnya mulai menampakan kepanikan. Diperiksanya dahiku dengan punggung tangannya. Dan sebentar kemudian dia berlari menuju keluar kamarku.

Aku kembali memejamkan mata untuk menikmati ribuan jarum yang menghujam kepalaku. Rasa sakit ini sangat luar biasa. Sakit yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Air mataku mengalir sebagai tanda bahwa aku sudah tak bisa menahan semua ini.

.

.

Suara sirine sayup-sayup membangunkanku. Dengan tubuh terbaring penuh guncangan, kurasakan ada satu selang tertancap di tangan kiriku, mengalirkan cairan yang tergantung dalam sebuah kantung berwarna bening.

Masih dalam kebingungan, kuedarkan pandanganku ke sisi sebelah kanan. Kulihat Ibuk dan Alif sedang terisak sambil terus menggenggam tangan kananku.

'Eh... Apa yang sedang terjadi? Bagaimana bisa aku berada dalam ruangan sempit penuh guncangan ini?'

"Mas... Mas Azka, apa yang mas rasakan?" tanya Alif yang terlihat sangat khawatir. Digenggamnya semakin erat tangan kananku. "Mas harus sehat lagi ya. Nggak boleh tinggalin Lif sama Ibuk. Nanti Lif mau kerja sama siapa lagi kalau Mas Azka sakit terus."

Aku berusaha menggelengkan kepala, namun deraan itu semakin menjadi-jadi.

'Ya Tuhan, kenapa kepalaku sangat sakit?'

.

.

Semua ini berlalu sangat cepat, sepertinya baru kemarin kulihat wajahmu tapi sekarang kau telah pergi dariku. Kau sering sekali memujiku, memuji hasil karyaku. Aku sangat senang dengan hal itu namun tak pernah terlintas di benakku jika semuanya akan berakhir seperti ini.

Andai saja dulu kutahu yang kutahu kalau semuanya akan begini jadinya. Aku akan bersikap biasa saja sebagai seorang teman agar aku bisa mencegah semua rasa sakit ini, agar aku bisa mendekap dirimu selama yang aku mau.

Aku hanya ingin berterima kasih untuk semua yang telah kau berikan, aku minta maaf atas semua kesalahpahaman ini. Aku bersedia melakukan apapun untuk mendengar suaramu lagi, meskipun aku harus meninggalkanmu.

Maaf aku telah menyalahkanmu untuk semua ketidakberdayaanku. Dan jika kau tahu, aku telah melukai diriku sendiri dengan berprasangka buruk padamu.

Kadang hatiku terasa hancur namun tak kuakui. Kadang aku ingin menyangkal bahwa hanya kau yang kurindu. Tapi aku tak pernah bisa melakukannya dan sungguh berat hatiku untuk mengucap kata selamat tinggal.

Bersediakah kau nyatakan padaku kalau aku telah salah? Bersediakah kau membantuku untuk memahami semua ini? Apakah kau kecewa denganku? Apakah kau akan tetap bangga padaku?

Akan kulakukan semuanya agar dapat satu kesempatan lagi. Untuk menatap matamu dan melihatmu membalas menatapku.

Andai kupunya kesempatan, akan kukatakan padamu betapa aku merindukanmu sejak engkau pergi. Tapi aku tak akan pernah bisa memutar waktu.

Maaf aku telah menyalahkanmu untuk semua ketidakberdayaanku. Dan maaf jika aku telah memaksakan cinta ini padamu.

.

.

.

***

HEMPASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang