DIA

4K 310 33
                                    

Empat hari berselang, aku dan Mas Damar semakin akrab. Bukan akrab karena suatu rasa, melainkan akrab karena urusan bisnis. Dia memberitahu agar di paket pesanannya bisa ditambah item berupa kelopak bunga sakura. Aku menyanggupinya, namun dengan syarat tambahan waktu satu hari lagi. Mas Damar setuju dan ia malah memintaku untuk menyimpan dulu paket pesanannya hingga akhir minggu nanti.

Satu demi satu untaian origami bunga-bunga itu kuselesaikan sendiri. Ya, memang inilah keterampilan yang aku miliki. Setidaknya dengan semua ini, toko sederhana milikku bisa terus berkembang menjadi bisnis yang bisa mencukupi kebutuhanku. Aku hanya sebatang kara sejak kepergian ayahku tahun lalu. Untungnya di usiaku yang baru 22 tahun ini aku sudah mempunyai sumber penghidupan yang cukup menjanjikan.

"Mas Azka!" teriak Alif, satu-satunya kurir pengiriman paket di tokoku. Pemuda berusia 19 tahun itu sangat akrab denganku, bahkan sudah seperti saudaraku sendiri.

"Ya... Lif! Mas di belakang...," jawabku sedikit berteriak. Kedua tanganku masih asik melipat-lipat kertas yang ada di genggamannya.

Tak ada suara sahutan lagi, kecuali derap kaki yang semakin mendekat. Setelah langkah itu terhenti, Alif melongokkan kepalanya dari pintu. Dia tersenyum dengan maksud untuk menyapaku. Kubalas senyumannya itu dan dia mendekat ke arahku.

"Ada undangan di atas meja kerjanya Mas Azka. Bagus deh, gambar bunga-bunga gitu." Ujar Alif saat pantatnya berhasil mendarat di sebelahku. Tangannya terulur untuk memberikan secarik kertas berwarna merah itu.

"Undangan dari siapa, Lif?" tanyaku sambil membolak-balikkan undangan apik bersampul plastik yang kini sudah ada genggamanku... Desainnya bagus dan sangat rapi.

Alif yang berada di sebelahku menanggapi pertanyaanku hanya dengan mengangkat bahunya tanda tak tahu.

'Hmm... Siapa ya kira-kira yang mengirimkan undangan ini?' Aku membatin. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membuka sampulnya.

Aku tersenyum saat melihat sebuah alamat yang tertera dalam undangan itu. Alamat yang sama dengan rumah pemesan paket bunga yang sedang kuselesaikan ini.

Mas Damar.

Pasti, dia yang telah mengirim undangan ini.

Tapi kapan dia datang ke tokoku?

Kenapa tak ada bunyi bel penanda ada yang masuk ke tokoku?

Dan satu lagi, kenapa aku juga diundang ke pesta perayaan Bu Ratri?

Namun, tanpa kusadari seulas senyuman terukir di bibirku. Ini semua karena bayang-bayang lelaki tampan itu kembali berkeliaran di dalam kepalaku.

Ya ampun... Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Ya Tuhan... Senyuman itu. Mata coklat cerah dengan hiasan alis tebal.

Kenapa aku tak bisa melupakan semua tentangnya?

Apa yang membuatku jadi seperti ini?

DIA... Hanya dia yang sekarang menjadi pusat perhatianku. Tanpa kusadari diriku telah jatuh sejatuh-jatuhnya.

"Mas... Emang itu dari siapa?" Pertanyaan itu menginterupsi lamunanku dari bayang-bayang kehadirannya.

"Eh... Ini dari Mas Damar, Lif. Pelanggan kita yang empat hari lalu datang memesan paket bunga ini."

"Terus... Kenapa Mas Azka malah senyam-senyum sendiri?"

Astaga... Jadi, dari tadi Alif melihatku?

"Apa sih, Lif? Anak kecil nggak boleh tanya-tanya." Ku julurkan lidahku untuk menggodanya. Alif malah tertawa terbahak-bahak.

Kadang... Alif bisa menjadi teman dalam kesendirianku. Aku juga sudah mengenal keluarganya. Bu Hanum, Ibunya Alif juga sering menitipkan sedikit masakannya pada putranya itu agar aku bisa mencicipi makanan lezat buatannya. Seperti sekarang ini, Bu Hanum menitipkan seporsi tahu telor bumbu kacang pada Alif.

HEMPASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang