Hanging On

3.4K 273 76
                                    

Butir-butir air mulai berkumpul membentuk koloni yang solid. Kuat dan erat, satu sama lain. Saling berikatan menjadi awan beragam bentuk. Cirrus, Alto, Cumulus, Nimbus, dan Stratus.

Tak jarang, dua diantaranya bertransformasi menjadi bentuk yang lebih menakjubkan. Stratocumulus... Awan yang terlihat seperti kapas lembut berlapis-lapis itu mampu menyihir setiap pasang mata yang menatap ke arahnya.

Namun dibalik keindahan yang dimilikinya, Stratocumulus menyimpan triliyunan butir air yang siap mengguyur Bumi. Gerimis... Salah satu jurus andalannya, mampu membawa semua orang masuk ke dalam alam bawah sadar dan mengingat semua kenangan.

Seperti kamu, semua perlakuan lembutmu, dan semua kenangan manis antara kita berdua yang telah tersimpan sebagai rekam jejak dalam memori jangka panjangku.

Arseno Damar Paramaditya,

Sadarkah kamu? Mungkin lewat semua perhatian sederhanamu, membuat diriku semakin tenggelam dalam palung tergelap di hatimu. Ingin kuberikan sedikit cahaya di sana, namun untuk mencari tempat berpijak saja aku tak bisa. Hanya tenggelam dan tenggelam yang bisa kurasakan. Hingga mungkin, ini semua hanyalah Bayang-bayang Ilusi.

Gelap,

dan

tak bisa kuraih.

.

.

Aku turun dari bus dan disambut oleh rintik-rintik hujan sore ini. Bukannya aku nekad, tapi menunggu Alif kembali dari mengantarkan pesanan sama saja seperti membuang waktu percuma. Kamu mengirimkan pesan, agar aku tak terlambat datang. Jadi, di sinilah aku sekarang. Di perempatan jalan Mastrip—jalan terdekat yang bisa dijangkau kendaraan umum untuk bisa sampai alamat rumahmu.

Aku sudah memberimu kabar, tapi tak kusangka kamu malah menjemputku dengan senyum menawanmu. Aku tak mengira kalau kamu akan menunggu kedatanganku di halte Mastrip.

Saat itu, meski tanpa sepatah katapun, aku tahu kamu menyimpan sedikit rasa rindu untukku. Semua itu tersampaikan hanya lewat tatapanmu yang beradu dengan manik mataku.

Tak hanya itu, jaket kulit yang sengaja kamu lepas untuk menutupi kepalaku juga menjadi bukti bahwa diantara kita ada sesuatu yang berbeda. Tapi, sekali lagi. Aku tak ingin terlalu memikirkannya karena yang kutahu adalah diriku akan semakin terlarut di dalam ilusi.

"Kenapa harus nekad naik bus, sih?"

Pertanyaanmu itu membuatku menyunggingkan senyuman tipis.

"Kalau saya nggak berangkat naik bus, saya nggak tahu bisa sampai jam berapa. Lagian kalau nunggu Alif datang, nanti hujannya malah makin deras."

Kulihat kamu memejamkan mata sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. Sepertinya, kamu sedang berusaha meredam emosi karena jawaban yang kuberikan.

"Ya ya ya... Azka dan 1001 alasan!" cibirmu. Tapi yang kamu dapatkan adalah cengiran dari bibirku.

.

.

Hening.

Hanya itu yang mengiringi langkah kakiku yang bersanding dengan jangkah panjang milikmu.

Gerimis semakin lebat, tapi kita berdua tak ada yang menyadarinya. Hanya tubuhku yang semakin merapat dalam dekapanmu.

Hangat dan nyaman.

Sungguh, kali ini aku tak bisa membiarkan debaran dalam hatiku. Aku jatuh cinta padamu, Mas Damar. Ya, aku tak bisa membohongi hatiku.

"Ka, rumah saya yang pagar hitam itu."

HEMPASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang