- 3 -

4.3K 408 20
                                    

Mila mengusap wajahnya kasar. Adiknya selalu membuat ulah dari awal masuk ke sekolah ini. Cewek itu mencengkram setir mobil erat-erat, menahan amarah yang sudah di ubun-ubun.

Sementara Prilly, baru memasuki mobil jazz putih milik Mila.

"Gue denger, lo bikin masalah lagi?" Ucap Mila. Prilly tau, itu bukanlah pertanyaan, melainkan pernyataan.

Prilly merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal sebelum menjawab. "Kenapa, sih, lo selalu ngurusin hidup gue?"

"Jelas! Karena lo adek gue, Pril. Gue malu punya adek yang sering bikin ulah," bentak Mila. Prilly terkejut. Mila tidak pernah marah seperti ini sebelumnya.

"Kalo lo malu, lo bisa nggak usah anggep gue sebagai adek lo. Dan gue bakal pura-pura nggak punya Kakak. Clear? Masalah selesai." Jawab Prilly santai.

Man, hidup dibawa santai aja, kali. Yep. Itulah prinsip Prilly.

Mila mendengus kesal. Prilly selalu menang, dan Mila selalu kalah.

"Gue nggak bakal ngelakuin itu," hela Mila. "Sebejat-bejatnya elo, gue tetep nganggep lo adek gue," lagi, Mila memberi jeda sebentar. "Adek kesayangan gue."

Hati Prilly terasa menghangat, teringat masa lalunya yang jauh berbeda dengan sekarang.

"Lo bukan Prilly yang dulu. Lo berubah drastis, gue mau lo yang dulu...." Terakhir, kata-kata itulah yang diucapkan Mila.

Prilly hanya bergeming. Ia tidak ingin seperti dulu, cewek yang manja, cengeng, bertergantungan dengan orang. Oh, no!

***

Sepulang sekolah, Prilly langsung membuka sepatu converse putihnya dan berlari ke dalam kamar. Mila tadi ada part time shift di bakery milik Mama dan Papanya, jadi terpaksa Prilly jalan kaki ke rumah— jarak antara bakery dan rumah Prilly sangat dekat.

"Prilly, udah pulang, sayang?" Kepala Mamanya tersembul di balik pintu kamarnya.

Prilly tersenyum tipis, "udah, Ma. Prilly capek, kayaknya harus istirahat, deh."

Raut wajah Windy -Mama Prilly- berubah menjadi kecewa. Ia sadar, ini semua memang sepenuhnya kesalahan Windy yang pernah meninggalkan Prilly bertahun-tahun lamanya. Prilly berubah menjadi sosok yang dingin, cuek, serta nggak pedulian. Jauh berbeda dengan Prilly yang dulu, Prilly yang ceria, hangat, dan easy-going.

Beberapa detik kemudian, pintu kembali tertutup. Prilly langsung menyibak selimut yang digunakan untuk dia pura-pura tidur tadi, lalu langsung berjingkrak dari kasur.

Prilly meraba kolong kasurnya, mencari sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Setelah meraba cukup lama, akhirnya ia mendapatkan apa yang dicarinya; kotak sepatu.

Benda itu bukanlah sembarang kotak sepatu. Isinya sangat, sangat berharga bagi Prilly. Cewek itu duduk bersila di lantai, lalu memulai membuka kotak yang mulai berdebu itu.

Prilly meniup debu yang menempel pada kotak, kemudian membukanya perlahan. Isinya masih utuh dan bersih. Di dalamnya ada beberapa foto polaroid, gelang bergambar kepala kucing, dan juga 3 buah kunciran berwarna-warni. Terakhir, ada sepucuk surat dan diary Prilly semasa kelas 10 dan 11.

Tangan mulusnya meraih sebuah foto seorang perempuan dan laki-laki dengan seragam putih abu-abu saling merangkul. Keduanya masih terlihat polos. Dan itu... foto Ali dan Prilly kelas 11.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang